Laman

11 January 2016

TEORI DIXIT (Model Struktur Kota)

Teori Dixit


sumber: http://www.wikipedia.org/
           Model struktur kota yang bersifat lebih umum dikembangkan oleh Dixit. Tema utama dari karya Dixit adalah ukuran kota optimum yang ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi dan disekonomi transportasi disebabkan oleh kemacetan lalulintas. Dixit membuat asumsi bahwa hanya terdapat satu perusahaan yang memproduksi komoditi tunggal dan skala hasil yang meningkat. Seperti model yang dikembangkan oleh Mills, model yang dikembangkan oleh Mills, Dixit beramsusi produsen barang adalah monopoli beralokasi di PDB. Namun dibandingkan dengan model Mills, model yang dikembangkan oleh Dixit bersifat umum. Dixit mengintegrasikan manfaat sebagai fungsi dari barang industri dan perumahan. Model Dixit memperlihatkan analitis bahwa tingkat skala peningkatan sama dengan rasio sewa tanah terhadap nilai output.
         
           Sekalipun model Dixit memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita mengenai ekonomi aglomerasi dalam suatu rangka yang lebih umum, namun kritik keras terhadap model ini adalah pemberlakuan skala ekonomi dalam sistem monopoli dianggap terlalu sederhana. Skala peningkatan internal bagi produsen yang memiliki kekuatan monopoli susah untuk diterima sebagai penyebab ekonomi aglomerasi. Model ini tidak memberikan banyak penjelasan terhadap keadaan kota modern sebenarnya. Fenomena suatu kota modern adalah terdapat banyak produsen dan terjadi perdagangan antarkota, keadaan ini jauh berbeda dari keadaan pasar monopoli. Kritik ini juga berlaku pada model yang dikembangkan oleh Mills.


PENGARUH PERKEMBANGAN AKTIVITAS EKONOMI TERHADAP STRUKTUR RUANG KOTA DI SWP III KABUPATEN GRESIK

KOTA GRESIK
  
           
http://www.nggresik.blogspot.com/
      Menurut catatan dari Tiongkok, Gresik didirikan pada abad ke-14 oleh seorang Tionghoa. Sejak abad ke-11, Gresik menjadi pusat perdagangan dan kota bandar yang dikunjungi oleh banyak bangsa seperti, Cina,Arab, Champa, dan Gujarat. Gresik juga sebagai pintu masuk Islam pertama di Jawa, yang antara lain ditandai dengan adanya makam-makam Islam kuno dari Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Fatimah binti Maimun. Gresik sudah menjadi salah satu pelabuhan utama dan kota dagang yang cukup penting sejak abad ke-14, serta menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dari Maluku menuju Sumatera dan daratan Asia (termasuk India dan Persia). Hal ini berlanjut hingga era VOC. Tahun 1411 penguasa Gresik, seorang kelahiran Guangzhou, mengirim utusan ke kaisar Tiongkok. Pada abad ke-15, Gresik menjadi pelabuhan dagang internasional yang besar. Dalam Suma Oriental-nya, Tomé Pires menyebutnya sebagai "permata pulau Jawa di antara pelabuhan dagang".
      
http://www.wikipedia.org/
        Lokasi Kabupaten Gresik terletak di sebelah barat laut Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Pusat pemerintahan Kabupaten Gresik yaitu Kecamatan Gresik berada 20 km sebelah utara Kota Surabaya. Kabupaten Gresik terbagi dalam 18 kecamatan dan terdiri dari 330 desa dan 26 kelurahan. Secara geografis, wilayah Kabupaten Gresik terletak antara 112° sampai 113° Bujur Timur dan 7° sampai 8° Lintang Selatan dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2 sampai 12 meter diatas permukaan air laut, kecuali Kecamatan Panceng yang mempunyai ketinggian 25 meter di atas permukaan laut. Sebagian wilayah Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir pantai, yaitu memanjang mulai dari Kecamatan Kebomas, Gresik, Manyar, Bungah, Sidayu, Ujungpangkah dan Panceng serta Kecamatan Sangkapura dan Tambak yang lokasinya berada di Pulau Bawean. Jenis tanah di wilayah Kabupaten Gresik sebagian besar merupakan tanah kapur yang relatif tandus.

            Berdasarkan data Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, dan Sosial Kabupaten Gresik jumlah penduduk Kabupaten Gresik pada akhir tahun 2012 sebesar 1.307.995 jiwa yang terdiri dari 658.786 laki-laki dan 649.209 perempuan, Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2011 sebesar 1.270.351 jiwa, maka terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 37.644 jiwa atau 2,9%. Dengan luas wilayah Kabupaten Gresik sebesar 1.191,25/km² maka tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Gresik adalah 1.098 jiwa/km².



TINJAUAN UMUM 

          SWP III merupakan satuan wilayah pembangunan di Kabupaten Gresik yang meliputi tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Cerme, Kecamatan Benjeng, Kecamatan Balongpanggang, Kecamatan Menganti, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Wringinanom, dan Kecamatan Driyorejo. Pusat SWP III berada pada IKK (Ibukota Kecamatan) Driyorejo. Luas wilayah SWP III adalah 445,19 km2 dan berbatasan langsung dengan empat kabupaten/kota, yaitu Kota Surabaya di bagian Timur, Kabupaten Sidoarjo di bagian Selatan, serta Kabupaten Mojokerto dan Lamongan di bagian Barat. Berdasarkan RTRW Kabupaten Gresik Tahun 2004 – 2014, SWP III direncanakan sebagai wilayah pengembangan kawasan permukiman, industri, dan campuran di Kabupaten Gresik. Begitu juga pada RTRW Kabupaten Gresik Tahun 2010 – 2030. Wilayah ini masih difokuskan untuk pengembangan kawasan permukiman skala besar yang terkonsentrasi pada Kecamatan Driyorejo, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Menganti, dan Kecamatan Cerme, kawasan industri yang terkonsentrasi pada Kecamatan Driyorejo, Kecamatan Wringinanom, Kecamatan Kedamean, dan Kecamatan Menganti, dan kawasan campuran di sepanjang jalan arteri dan kolektor pada Kecamatan Diyorejo, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Menganti, dan Kecamatan Cerme.


ANALISIS

Analisis Perkembangan Aktivitas Ekonomi di SWP III Kabupaten Gresik

         Aktivitas ekonomi yang dianalisis perkembangannya dalam penelitian ini difokuskan pada aktivitas ekonomi dominan yang terdapat di seluruh kecamatan di SWP III dan dianggap telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan fisik di wilayah tersebut. Ada tiga jenis aktivitas ekonomi dominan di wilayah penelitian, yaitu aktivitas pertanian, industri, dan permukiman. Aktivitas pertanian adalah aktivitas ekonomi yang masih sangat mendominasi di SWP III dari tahun 2004 – 2011. Namun dalam kurun waktu tersebut, luasan lahan pertanian di wilayah ini mengalami penurunan sebesar 855,79 Ha atau 2,45% dari luas lahan pertanian pada tahun 2004. Penurunan luasan lahan pertanian di SWP III sebagian besar disebabkan adanya alih fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan aktivitas pertanian di wilayah ini mengalami penurunan dan berbanding terbalik dengan perkembangan aktivitas industri dan permukiman.Perkembangan aktivitas industri dan permukiman di SWP III dari tahun 2004 – 2011 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terlihat dari pertumbuhan luasan lahannya sebesar 315,78 Ha atau 191,87% untuk lahan industri dan sebesar 718,43 Ha atau 16,85% untuk lahan permukiman. 

   Perkembangan dua aktivitas ekonomi tersebut banyak dipengaruhi oleh perkembangan pusat kota Gresik dan pinggiran Kota Surabaya yang mulai mengalami kepadatan lahan. Ketersediaan lahan terbuka yang masih sangat luas di SWP III menjadikan wilayah ini memiliki potensi yang besar untuk menjadi kawasan pengembangan aktivitas ekonomi baru di Kabupaten Gresik dan menampung perluasan aktivitas dari Kota Surabaya. Perkembangan aktivitas industri dan permukiman di SWP III sebagian besar terjadi pada Kecamatan Wringinanom, Kecamatan Driyorejo, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Menganti, dan Kecamatan Cerme.


Analisis Arah Perkembangan Kota di SWP III Kabupaten Gresik 

     Alih fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun sebenarnya tidak hanya terjadi pada penggunaan lahan pertanian saja, tetapi juga terjadi pada penggunaan lahan terbuka lainnya, yaitu lahan rumput, danau, dan tambak. Selain itu, alih fungsi lahan terbuka juga tidak hanya diubah menjadi lahan industri dan permukiman saja, tetapi juga menjadi penggunaan lahan lainnya, seperti untuk sarana dan prasarana. Lahan sawah tadah hujan mengalami penurunan luas yang paling besar yaitu seluas 583,07 Ha. Jenis sawah ini merupakan sawah yang kurang produktif bagi aktivitas pertanian karena mengandalkan musim hujan dalam proses produksinya. Hal tersebut yang menjadikan lahan sawah tadah hujan di SWP III diarahkan untuk guna lahan lain yang lebih produktif bagi perekonomian wilayah, seperti guna lahan industri, permukiman, dan perdagangan dan jasa. 

    Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di SWP III dari tahun 2004 – 2011 ternyata mempengaruhi pola penggunaan lahan karena terjadi perubahan terhadap sebaran guna lahannya, meskipun tidak terlihat signifikan. Pada tahun 2004, pola penggunaan lahan di SWP III didominasi oleh penggunaan lahan pertanian yang tersebar merata di sebagian besar SWP III dan sebagian kecil lahan perikanan pada bagian Utara SWP III, penggunaan lahan permukiman sebagian besar tersebar dalam kelompok-kelompok luasan kecil dan pada bagian Selatan terlihat membentuk pola linear, dan persebaran penggunaan lahan industri banyak terlihat pada bagian Selatan wilayah studi membentuk pola linear. 

    Kemudian pada tahun 2011, pola lahan permukiman yang sebelumnya tersebar dalam kelompok-kelompok luasan kecil pada beberapa lokasi terlihat mengalami perkembangan menjadi kelompok luasan yang lebih besar dan pola linear pada bagian Selatan mulai terlihat lebih jelas. Sedangkan lahan industri terlihat lebih jelas membentuk pola linear pada bagian Selatan wilayah studi di tahun 2011 dan lahan industri juga mulai muncul pada bagian Utara dengan pola linear. Sebenarnya perubahan hanya terjadi pada kepadatan lahan industri dan permukiman di SWP III yang mengalami peningkatan dari tahun 2004 – 2011. Jadi perkembangan penggunaan lahan industri dan permukiman di SWP III masih mengikuti pola yang sudah terbentuk pada tahun 2004. Perkembangan aktivitas permukiman juga mempengaruhi perkembangan jaringan jalan lokal di SWP III. Pada kawasan permukiman baru berkembang pula jaringan jalan baru yang mendukung mobilitas penduduk yang tinggal di dalamnya. Tahun 2004 pola jaringan jalan di SWP III terlihat membentuk pola jalan tidak teratur akibat penggunaan lahan terbangun yang terletak meyebar. Namun pada tahun 2011, jaringan jalan baru yang tumbuh pada kawasan permukiman baru mengakibatkan terbentuknya pola jalan grid. Kawasan permukiman perkotaan yang saat ini berkembang di SWP III telah mengadopsi pola jalan grid untuk memudahkan dalam pembagian lahan dan mengefisienkan lahan. 

Perkembangan pola penggunaan lahan dan pola jaringan jalan menunjukkan adanya perkembangan kota di SWP III. Dalam kurun waktu tersebut, pola penggunaan lahan terbangun beserta pola jaringan jalannya berkembang pada lahan terbuka yang ada. Lahan terbangun baru tersebut tumbuh di antara lahan tebangun yang sudah ada sebelumnya sehingga lahan terbangun di SWP III menjadi lebih padat dari tahun 2004. Perkembangan kota seperti itu digolongkan dalam perkembangan interstisial. Perkembangan interstisial adalah perkembangan kota ke arah dalam (Zahnd, 2003). Selain itu, perkembangan kota di wilayah ini juga dikategorikan dalam bentuk perembetan kota meloncat. Jenis perembetan kota tersebut menggambarkan perkembangan lahan terbangun terjadi secara berpencar karena tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian (Yunus, 2004). Karena penggunaan lahan di SWP III masih didominasi lahan pertanian, maka lahan-lahan terbangun yang tumbuh menjadi dikelilingi lahan pertanian. 

     Perkembangan kota di SWP III dari tahun 2004 – 2011 lebih banyak dipengaruhi oleh Kota Surabaya yang berperan sebagai pusat kegiatan bagi wilayah ini dibandingkan pengaruh dari pusat kota Gresik. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan perubahan pola penggunaan lahan dan jaringan jalan yang terjadi pada kecamatan yang berbatasan dengan Kota Surabaya, yaitu Kecamatan Driyorejo dan Kecamatan Menganti. Ketersediaan fasilitas yang lebih memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, menjadikan perkembangan kota di SWP III tertarik ke wilayah yang dekat dengan Kota Surabaya. Selain itu, Kabupaten Sidoarjo juga ikut mempengaruhi perkembangan kota di SWP III. Namun pengaruh perkembangannya tidak terlalu besar karena adanya limitasi geografi berupa sungai, yaitu Sungai Kalimas, yang mengakibatkan kurangnya akses dari dan menuju kabupaten tersebut.


Analisis Perkembangan Struktur Ruang Kota di SWP III Kabupaten Gresik


         Perkembangan struktur ruang kota di SWP III dianalisis dengan cara membandingkan model struktur ruang kota pada tahun 2004 dengan model struktur ruang kota pada tahun 2011.Berdasarkan pendekatan ekologikal, model struktur ruang kota di SWP III dari tahun 2004 – 2011 tidak mengalami perubahan, yaitu tetap mendekati model teori multiple nuclei. Model tersebut dianggap paling mendekati karena ada dua daerah pusat kegiatan yang mempengaruhi wilayah penelitian, yaitu Kota Surabaya sebagai daerah pusat kegiatan utama dan pusat kota Gresik sebagai daerah subpusat kegiatan. Kota Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur tentu memiliki kegiatan perniagaan dengan skala pelayanan yang besar. Maka tidak mengherankan jika Kabupaten Gresik yang berbatasan langsung dengan Kota Surabaya, sebagian besar penduduknya masih cenderung tertarik ke Kota Surabaya untuk melakukan aktivitas perdagangan dan jasa. Sedangkan pusat kota Gresik sendiri tetap menjadi daerah pusat kegiatan di wilayah penelitian tetapi dengan skala pelayanan yang lebih kecil sehingga daya tarik ekonominya tidak sekuat Kota Surabaya. Kemudian zona permukiman dan industri yang ada di SWP III merupakan zona permukiman dan industri pinggiran karena letaknya yang jauh dari daerah pusat-pusat kegiatan yang ada.

       
        Berdasarkan pendekatan morfologi kota, struktur ruang kota SWP III tahun 2004 – 2011 juga tidak mengalami perubahan. Struktur ruang kota di SWP III tetap dikategorikan dalam bentuk kota tidak kompak, yaitu berbentuk kota terpecah. Kota terpecah merupakan ekspresi keruangan dari perkembangan suatu kota yang tidak menyatu dengan kota induknya sehingga membentuk exclaves, biasanya merupakan daerah permukiman, pada daerah pertanian di sekitarnya (Yunus, 2004). Karakteristik kota terpecah tersebut mirip dengan karakteristik pola penggunaan lahan permukiman yang ada di SWP III pada tahun 2004 – 2011. Kawasan permukiman tersebut membentuk pola menyebar yang terhubung dengan jaringan jalan lokal yang juga berpola tidak teratur menyesuaikan pola permukimannya. Struktur ruang kota seperti ini menunjukkan bahwa SWP III merupakan wilayah di Kabupaten Gresik yang baru berkembang sehingga terlihat masih banyak lahan terbuka yang tersedia. 

     Ketersediaan lahan terbuka yang masih luas menjadikan para developer masih dapat dengan bebas memilih lokasi dalam zona peruntukkan lahan permukiman untuk mereka kembangkan sebagai perumahan baru di SWP III.

    Akibatnya kawasan permukiman baru tersebut berkembang secara menyebar sehingga kurang terintegrasi dengan kawasan permukiman yang sudah adasebelumnya. Dengan pola seperti itu menjadikan kawasan permukiman di SWP III hingga tahun 2011 masih dikelilingi oleh lahan-lahan pertanian.



Analisis Pengaruh Perkembangan Aktivitas Ekonomi terhadap Struktur Ruang Kota di SWP III Kabupaten Gresik 

     Tidak terjadinya perubahan pada model struktur ruang kota di SWP III dari tahun 2004 – 2011 disebabkan model multiple nuclei merupakan model struktur ruang kota yang paling sesuai dengan kondisi perkotaan pada saat ini. Dalam perkembangannya, suatu kota akan tumbuh dengan beberapa pusat kegiatan yang saling terintegrasi. Hal tersebut terjadi akibat adanya proses pemerataan pembangunan sehingga dalam suatu kota tidak hanya bergantung pada satu pusat kegiatan saja tetapi juga harus didukung dengan sub-sub pusat kegiatan agar dapat melayani penduduk secara lebih merata. 

     Sedangkan untuk model struktur ruang kota menurut pendekatan morfologi kota, juga tidak terjadi perubahan model. Hal tersebut dikarenakan lahan terbuka di SWP III masih tersedia sangat luas sehingga perkembangan fisik yang terjadi dalam kurun waktu 7 tahun tersebut tidak membuat lahan di wilayah ini mengalami kejenuhan. Selain itu, perkembangan lahan terbangun di SWP III hingga tahun 2011 juga masih mengikuti pola ruang pada tahun 2004. Jadi, perkembangan aktivitas ekonomi di SWP III tidak mengubah model struktur ruang kotanya.


KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 

      Perkembangan aktivitas ekonomi di SWP III dari tahun 2004 – 2011 terjadi pada aktivitas industri dan permukiman. Sebagai wilayah pinggiran dengan lahan terbuka yang masih luas, SWP III dijadikan sebagai wilayah pengembangan aktivitas ekonomi baru bagi Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya. Akibatnya alih fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun untuk menampung perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah ini tidak dapat terelakkan. Alih fungsi lahan tersebut ikut mempengaruhi pola penggunaan lahan di wilayah ini menjadi lebih padat dari pola sebelumnya dan munculnya pola jaringan jalan baru pada kawasan-kawasan permukiman baru. Kecenderungan arah perkembangan kota di SWP III adalah pada daerah yang berbatasan dengan Kota Surabaya, yaitu pada Kecamatan Driyorejo dan Kecamatan Menganti, akibat besarnya tarikan aktivitas ekonomi dari Kota Surabaya. Namun perkembangan kota tersebut ternyata tidak mempengaruhi model struktur ruang kota di SWP III. Model struktur ruang kota di wilayah ini masih menunjukkan model teori multiple nuclei menurut pendekatan ekologikal dan berbentuk kota terpecah menurut pendekatan morfologi kota. Jadi perkembangan aktivitas ekonomi di SWP III dari tahun 2004 – 2011 tidak berpengaruh terhadap struktur ruang kotanya. Perkembangan aktivitas ekonomi hanya mempengaruhi pola penggunaan lahan dan pola jaringan jalan yang merupakan elemen penyusun struktur ruang kota. 

       Hasil dari penelitian ini baru sebatas mengamati perkembangan aktivitas industri dan permukiman saja yang dianggap dapat mewakili perkembangan aktivitas ekonomi di SWP III secara keseluruhan. Hal tersebut dikarenakan perkembangan dua aktivitas ekonomi itu dominan dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya. Namun tentunya perkembangan aktivitas ekonomi lain, seperti aktivitas perdagangan dan jasa, juga ikut mempengaruhi perkembangan struktur ruang kota di SWP III. Kecenderungan perkembangan aktivitas ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun pastinya akan mengkonversi lahan-lahan terbuka di SWP III dalam jumlah besar. Pemerintah setempat sebaiknya mulai menetapkan lahan-lahan pertanian abadi di wilayah ini untuk menjaga kelestarian lingkungan dan ketersedian pangan di Kabupaten Gresik. Pemerintah juga diharapkan dapat terus konsisten dalam menjaga perkembangan lahan industri dan permukiman di SWP III tetap berada dalam peruntukkan lahan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku agar tercipta suatu keteraturan pola ruang beserta struktur ruangnya.



DAFTAR PUSTAKA 



Adisasmita, Rahardjo. 2005. Pembangunan Ekonomi Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Alim, Moch. Rum. 2006. Analisis Keterkaitan dan Kesenjangan Ekonomi Intra dan Interregional Jawa-Sumatera. Disertasi, IPB. Bogor.

Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Alumni.

Hadi, Devira Putriani. 2009. Studi Perkembangan Urban Sprawl di Surabaya Metropolitan Area

Undergraduate Theses, Urban and Regional Planning ITS. Surabaya.

Khadiyanto, Parfi. 2005. Tata Ruang Berbasis pada Kesesuaian Lahan. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gresik Tahun 2004 – 2014 dan Tahun 2010 – 2030. 

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media.

Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tarigan, Robinson. 2005. Teori Ekonomi Regional. Jakarta: Bumi Aksara.

Yunus, Hadi Sabari. 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zahnd, Markus. 2003. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta: Kanisius.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Gresik (diakses 15 Jan 2016)

https://www.academia.edu/5153439/Jurnal_Teknik_PWK_Volume_1_Nomor_1_2012_PENGARUH_PERKEMBANGAN_AKTIVITAS_EKONOMI_TERHADAP_STRUKTUR_RUANG_KOTA_DI_SWP_III_KABUPATEN_GRESIK (diakses 15 Jan 2016)



No comments: