Laman

16 January 2016

TEORI AITAI ETZIONI (PENGAMATAN TERPADU/PENGAMBILAN KEPUTUSAN)

TEORI AITAI ETZIONI
(PENGAMATAN TERPADU/PENGAMBILAN KEPUTUSAN)




TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN: TEORI PENGAMATAN TERPADU
Sekarang, sudah waktunya Ahli Artikel untuk membagikan artikel yang berjudul Teori Pengambilan Keputusan: Teori Pengamatan Terpadu. Semoga para pembaca setia Ahli Artikel bisa memahami penjelasannya dengan jelas di bawah ini.
Teori Pengambilan Keputusan: Teori Pengamatan Terpadu
Yang menganjurkan teori ini adalah seorang ahli sosiologi organisasi, Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat dalam teori inkremental.
Beberapa kelemahan dalam teori inkremental adalah, keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya, secara otomatis akan terabaikan. Lebih lanjut, dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijakan-kebijakan yang ada sekarang, maka model inkremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social innovation) yang mendasar. Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror gaya inkremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga menghambat upaya penyempurnaan proses pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi Dror yang pada dasarnya merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka, model inkremental justru dianggap sebagai strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil (inkremental) tidaklah memadai dalam upaya tercapainya hasil berupa perbaikan-perbaikan besar.
Keputusan-keputusan yang bersifat fundamental dan menimbulkan perubahan besar-besaran seperti pernyataan perang, tidak akan pernah terpikirkan didalam model inkremental. Walaupun jumlahnya terbatas, keputusan-keputusan fundamental sebenarnya amat penting dan kerapkali memberikan sumbangan yang berharga terhadap sejumlah besar keputusan inkremental. Etzioni menyodorkan konsep pengamatan terpadu (mixed scanning) sebagai suatu pendekatan dalam pengambilan keputusan, yang memperhitungkan dengan baik keputusan-keputusan yang bersifat fundamental maupun keputusan-keputusan yang bersifat inkremental dan memberikan prioritas nomor satu bagi proses pembuatan kebijakan fundamental yang memberikan arahan dasar, serta proses-proses pembuatan kebijakan inkremental yang melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan fundamental sesudah keputusan-keputusan ini tercapai. Etzioni memberikan ilustrasi mengenai teori pengamatan terpadu ini, sebagai berikut:
Andaikan kita akan membentuk sistem pengamatan cuaca yang berskala dunia dengan menggunakan satelit-satelit cuaca. Pendekatan rasional komprehensif akan berupaya melakukan survey besar-besaran mengenai keadaan cuaca dengan menggunakan kamera-kamera yang mampu mengadakan peninjauan dan penjelajahan secara terjadwal terhadap seluruh permukaan langit sesering mungkin. Upaya semacam ini akan menghasilkan data yang rinci mengenai kemungkinan turunnya salju, akan tetapi untuk menganalisis data semacam itu (misalnya bintik-bintik formasi awan yang dapat berkembang menjadi badai dan menghantarkan hujan ke daerah-daerah yang kering) jelas membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang besar. Sementara itu pendekatan inkremental akan berusaha untuk memfokuskan perhatiannya pada daerah-daerah di mana pola-pola yang serupa pernah terbentuk pada masa belum lama ini dan mungkin pada daerah-daerah yang berdekatan. Dengan demikian, pengamatan seperti ini akan mengabaikan seluruh bentuk atau formasi awan yang kemungkinan perlu mendapatkan perhatian yang serius apabila formasi awan itu timbul di daerah-daerah yang tidak direncanakan. Strategi pengamatan terpadu akan mencakup unsur-unsur yang terdapat pada kedua pendekatan tersebut dengan cara menggunakan dua kamera. Kamera pertama, ialah kamera yang memiliki sudut lebar yang sanggup untuk menjelajahi seluruh permukaan langit, tetapi tidak terlalu rinci, dan kamera kedua akan berusaha untuk memfokuskan pengamatannya pada daerah-daerah yang menurut hasil pengamatan kamera pertama tadi memerlukan pengamatan yang lebih rinci.
Model pengamatan terpadu diatas, menurut Etzioni akan memungkinkan para pembuat keputusan untuk memanfaatkan baik teori rasional komprehensif maupun teori inkremental pada situasi yang berbeda-beda. Dalam beberapa kasus, penggunaan model inkremental mungkin akan memadai, sementara pada kasus-kasus yang lain pendekatan yang lebih menyeluruh seperti yang nampak  pada model rasional komprehensif, mungkin justru sangat diperlukan. Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin besar keperluannya untuk melakukan penyelidikan, dan semakin menyeluruh penyelidikan itu, semakin efektif juga pengambilan keputusan tersebut. Dengan demikian, model pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan model inkremental dalam proses pengambilan keputusan.
Demikianlah artikel yang berjudul Teori Pengambilan Keputusan: Teori Pengamatan Terpadu. Semoga para pembaca setia bisa mendapatkan manfaat setelah membaca artikel ini.
SELAMAT BELAJAR. . . . 

Sumber:  Buku Analisis Kebijaksanaan-Dr.Solichin Abdul Wahab, M.A.

TEORI ARCHIBUGI (Penerapan Komponen Perencanaan Wilayah)

                                                 
                                                         TEORI ARCHIBUGI 
                        (PENERAPAN KOMPONEN PERENCANAAN WILAYAH)
               

Daniele Archibugi adalah ekonom dan teoriwan politik Italia. Ia menulis beberapa buku mengenai ekonomi dan kebijakan inovasi dan perubahan teknologi, teori politik hubungan internasional, dan globalisasi politik dan teknologi. Bersama David Held, ia menjadi tokoh utama kosmopolitanisme dan demokrasi kosmopolitan dan dikenal atas upayanya untuk menerapkan sejumlah norma dan nilai demokrasi pada politik global. Ia mengusulkan reformasi organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa secara besar-besaran.
Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah dapat dibagi atas empat komponen yaitu :
a. Physical Planning (Perencanaan fisik).
Perencanan yang perlu dilakukan untuk merencanakan secara fisik pengembangan wilayah. Muatan perencanaan ini lebih diarahkan kepada pengaturan tentang bentuk fisik kota dengan jaringan infrastruktur kota menghubungkan antara beberapa titik simpul aktivitas. Teori perencanaan ini telah membahas tentang kota dan sub bagian kota secara komprehensif. Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah perencanaan wilayah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Medan dalam bentuk master plan.

b.  Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro).
Dalam perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi makro yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi.
Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan.

c. Social Planning  (Perencanaan Sosial).
Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.

d. Development Planning(Perencanaan Pembangunan).
            Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah.

 CONTOH KOTA MEDAN

 
   Secara regional Kota Medan berfungsi sebagai koridor utama pengembangan kawasan perkotaan yang terintegrasi Mebidangro (Medan, Binjai, Deliserdang, Karo). Pengembangan kawasan secara terpadu ini ditetapkan melalui peraturan Presiden (Perpres) nomor 62/2011. Di samping itu, Medan beserta Kota Denpasar dan Kota Makasar diterapkan sebagai kota metropolitan baru.
   Hal ini dikatakan oleh Walikota Medan Drs H Rahudman Harahap MM pada acara Seminar Nasional realisasi proyek-proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Koridor Sumatera, Kamis (24/11) di Grand Angkasa Medan.
   Tidak hanya itu, lanjutnya, fungsi Kota Medan dalam mengelola kawasan-kawasan strategis menjadikan kota ini sebagai pintu gerbang Indonesia bagian barat. Medan juga Medan merupakan pasar produk yang cukup potensial serta didukung sumberdaya manusia dan angkatan kerja yang besar, namun demikian harus diakui masalah dan tantangan pembangunan akan semakin berat dan kompleks.
    “Pada 2010 pertumbuhan ekonomi Kota Medan mencapai 7,3 persen, kontribusi Kota Medan terhadap prekonomian regional Sumatera Utara mencapai 35,8 persen, dengan nilai PDRB sebesar Rp 78,8 trilyun, “ ujar Rahudman.
    Menurutnya, untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, inklusif dan berkelanjutan, diperlukan langkah-langkah strategis dan dinamis, dengan kemitraan yang kokoh. Untuk itu Kota Medan perlu menyusun masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi daerah, guna melengkapi RPJPD dan rencana pembangunan lainnya.
    Lebih lanjut Rahudman mengatakan, untuk mempercepat berbagai program pembangunan, Pemko Medan telah menerapkan APBD progresif dan dinamis, khususnya dalam rangka meningkatkan daya saing daerah dan pelayanan publik, selain itu juga terus berupaya mendorong percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi agar hasil-hasil pembangunan dapat lebih dinikmati secara lebih nyata dan merata oleh masyarakat.   
    “Berbagai isu pokok pembangunan kota juga telah mendapat perhatian khusus, seperti penurunan angka kemiskinan, peningkatan pelayanan publik, pendidikan, pelayayan kesehatan dan lainnya, “ papar Rahudman.
    Paparnya lagi, masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi daerah ditetapkan dengan dua koridor ekonomi utama yakni koridor ekonomi wilayah pusat kota dan koridor ekonomi bagian utara yang didukung oleh 108 indikasi rencana program pembangunan infrastruktur dan energi sumber daya manusia dan social budaya serta (IPTEK) dan pembiayaannya direncanakan akan melibatkan seluruh pelaku ekonomi, oleh karena itu perbaikan iklim investasi menjadi isu utama dengan menyiapkan regulasi dan mekanisme insentif yang dibutuhkan oleh pasar.

TEORI C.D.HARRIS DAN F.L.ULLMAN (Pusat Kegiatan Banyak/Multiple Nuclet)


                                               
TEORI C.D HARRIS DAN F.L ULLMAN
(PUSAT KEGIATAN BANYAK/
MULTIPLE NUCLET)
                  

Teori ini menggambarkan bahwa kota-kota besar akan mempunyai struktur yang terbentuk atas sel-sel, dimana penggunaan lahan yang berbeda-beda akan berkembang disekitar titik-titik pertumbuhan atau Nuclei didalam daerah perkotaan. Perumusan ide ini pertamakali diusulkan oleh C.D Harris dan F.L Ullmann tahun 1945. Disamping menggabungkan ide-ide yang dikemukakan teori konsentris dan teori sektor, teori pusat kegiatan banyak ini masih menambahkan unsur-unsur lain. Yang perlu diperhatikan adalah Nuclei yang mengandung pengertian semua unsur yang menarik fungsi-fungsi antara lain pemukiman, perdagangan, industri, dll. Oleh karenanya teori ini mempunyai struktur keruangan yang berbeda dengan teori konsentris dan teori sektoral.




KOTA JAKARTA SEBAGAI SALAH SATU KOTA PUSAT KEGIATAN BANYAK

a. Sejarah kota Jakarta
Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.
Sejarah1Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.
Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.


Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.

     * Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
     * 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan
        sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
     * 4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad
        Batavia.
     * 1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
     * 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
     * 8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
     * September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
     * 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad
        Gemeente Batavia.
     * 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
     * 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja
        Djakarta Raya.
     * Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah 
        Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
     * 31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota
        Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
     * Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus
        ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi
        pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan
        bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah
        kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu)

Sejarah2
 
Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);

b. Penduduk sebagai faktor utama Pusat kegiatan banyak

Jumlah penduduk dalam periode 2002-2006 terus mengalami peningkatan walaupun pertumbuhannya mengalami penurunan. Tahun 2002 jumlah penduduk sekitar 8,50 juta jiwa, tahun 2006 meningkat menjadi 8,96 juta jiwa, dan dalam lima tahun ke depan jumlahnya diperkirakan mencapai 9,1 juta orang. Kepadatan penduduk pada tahun 2002 mencapai 12.664 penduduk per km2, tahun 2006 mencapai 13.545 penduduk per km2 dan diperkirakan dalam lima tahun kedepan mencapai 13.756 penduduk per km2.
Laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1980-1990 sebesar 2,42 persen per tahun, menurun pada periode 1990-2000 dengan laju 0,16 persen. Pada periode 2000-2005, laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,06 persen per tahun.

Sepanjang periode 2002-2006 angka kematian bayi turun secara signifikan, yaitu dari 19,0 per 1000 kelahiran hidup tahun 2002 menjadi 13,7 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2006. Dengan penurunan angka kelahiran total dari 1,56 pada tahun 2000 menjadi 1,53 pada tahun 2006, maka terlihat faktor dominan yang mempengaruhi pertambahan jumlah penduduk adalah turunnya angka kematian bayi disamping migrasi dalam jumlah yang cukup besar karena pengaruh daya tarik Kota Jakarta sebagai pusat administrasi pemerintahan, ekonomi, keuangan, dan bisnis.
Demografi
Dilihat dari struktur umur, penduduk Jakarta sudah mengarah ke ”penduduk tua”, artinya proporsi ”penduduk muda” yaitu yang berumur 0-14 tahun sudah mulai menurun. Bila pada tahun 1990, proporsi penduduk muda masih sebesar 31,9 persen, maka pada tahun 2006 proporsi ini menurun menjadi 23,8 persen. Sepanjang tahun 2002-2006, proporsi penduduk umur muda tersebut relatif stabil, yaitu sekitar 23,8 persen. Sebaliknya proporsi penduduk usia lanjut (65 tahun ke atas) naik dari 1,5 persen pada tahun 1990, menjadi 2,2 persen pada tahun 2000. Tahun 2006, proporsi penduduk usia lanjut mengalami kenaikan menjadi 3,23 persen. Kenaikan penduduk lansia mencerminkan adanya kenaikan rata-rata usia harapan hidup, yaitu dari 72,79 tahun pada tahun 2002 menjadi 74,14 tahun pada tahun 2006.
 
Sumber : Perda No.1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012


c. Sumber kekayaan alam kota Jakarta

Jakarta dengan kondisi geografis lautan yang lebih luas dari daratan memiliki potensi sumber daya laut yang cukup besar, yakni berupa sumber daya mineral dan hasil laut.

Sumber daya mineral yang dihasilkan, tepatnya di Pulau Pabelokan, Kepulauan Seribu, berupa minyak bumi dan gas mulai dieksploitasi sejak tahun 2000 dengan rata-ratakapasitas produksi sekitar 4 juta barel per tahun.

Kekayaan laut yang dapat dieksploitasi berupa ikan konsumsi dan ikan hias. Selama lima tahun terakhir, tiap tahunnya rata-rata produksi ikan konsumsi mencapai 123 ribu ton dan produksi ikan hias mencapai 59,86 juta ekor.
 
 
Sumber : Perda No.1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012

        d. Geografis kota Jakarta

Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu Kabupaten administratif, yakni: Kota administrasi Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota administrasi Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2. Di sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa.
 
Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ±50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah bagian utara baru terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin ke selatan permukaan keras semakin dangkal 8-15 m. Pada bagian tertentu juga terdapat lapisan permukaan tanah yang keras dengan kedalaman 40 m.

Keadaan Kota Jakarta umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar 32,7°C - 34,°C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar 23,8°C -25,4°C pada malam hari. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237,96 mm, selama periode 2002-2006 curah hujan terendah sebesar 122,0 mm terjadi pada tahun 2002 dan tertinggi sebesar 267,4 mm terjadi pada tahun 2005, dengan tingkat kelembaban udara mencapai 73,0 - 78,0 persen dan kecepatan angin rata-rata mencapai 2,2 m/detik - 2,5 m/detik.

Sumber : Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012
 
 
e. Kesimpulan 

Jakarta merupakan Ibukota negara Indonesia. Hampir
seluruh kegiatan pemerintahan dan perekonomian dipusatkan di kota ini. Sebagai kota yang mengakomodir semua kegiatan, tidak heran jika banyak orang yang berdatangan ke Jakarta. Berbeda dengan kota-kota lain di Indone
sia, kota Jakarta mempunyai kompleksitas yang sangat rumit dan mempunyai  impliasi pada berbagai hal, baik itu masalah politik, ekonomi, sosial, budaya termasuk juga masalah transportasi. Menyimak bagaimana karakteristik kota Jakarta, maka kita akan bisa melihat kota Jakarta dengan berbagai posisi yang akan sangat berpengaruh pada faktor-faktor lain dalam dinamika kehidupan sosial politik masyarakat. Masalah lalu lintas dan sistem transportasi akan selalu terkait dengan Jakarta sebagai pusat aktivitas Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa lalu lintas menjadi penting di Jakarta, pertama, statusnya sebagai ibukota Negara menjadikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang menyebabkan banyak kegiatan kenegaraan di kota Jakarta yang menuntut a
turan protokoler, baik nasional maupun internasional dan pengamanan khusus, termasuk di bidang lalu lintas. Kedua, sebagai pusat kegiatan politik Jakarta memiliki pengaruh dalam penetapan berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut, akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap bidang lalu lintas, karena selalu akan terkait dengan mobilitas orang dan barang. Ketiga,sebagai pusat perekonomian Indonesia, menyebabkan tingkat kepadatan dan kompleksitas masalah lalu lintas Jakarta tidak bisa dihindari. Hal ini karena adanya konsekuensi mobilitas yang 2 membutuhkan efesiensi dan efektivitas,sementara sarana dan prasarana lalu lintas di Jakarta belum bisa mengantisipasinya. Keempat, sebagai kota metropolitan, lalu lintas Jakartamenjadi barometer mengenai perkembangan dan keteraturan akan sistem transportasi di Indonesia dan sistem transportasi di
Jakarta akan saling terkait dengan daerah-daerah di
sekitarnya. Sebagai kota metropolitan, Jakarta tidak bisa menutup diri sebagai kota pemicu meningkatnya aktivitas oleh orang-orang dari daerah-daerah sekitar pada jam-jam produktif. Salah satu masalah lalu lintas yang paling dirasakan pengaruhnya di Jakarta adalah kemacetan. Hasil jajak pendapat yangdilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa sebesar 69,47% responden menyatakan bahwa masalah lalu lintas (kemacetan) merupakan masalah utama yang terjadi di kota Jakarta (Sunaryo, 2011). Kemacetan dapat dirasakan oleh masyarakat dari mulai titik-titik persimpangan, jalan-jalan protokol hingga di jalan lingkungan. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan dengan ciri-ciri perjalanan jarak pendek, kecepatan rata-rata rendah dan jalan masuk dibatasi (Nizar, 2004). Salah satu faktor penyebab kemacetan lalu lintas adalah banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang tidak sesuai dengan kapasitas jalan raya .

15 January 2016

Kelompok 6

Teori Kutub Pembangunan yang Terlokalisasi (Boudeville)

   Boudeville (1961) telah menampilkan teori kutub pembangunan yang terlokalisasikan (localized poles of development). Mengikuti pendapat Perroux, ia mengidentifikasikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat industri-industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong pertumbuhan lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (H. W. Richardon, 1972, 85). Ia mengemukaan aspek kutub fungsional, tetapi dalam bukunya The Problem of Regional Economic Planning, ia memberikan pula perhatian pada aspek geografis. Teori Boudeville dapat dianggap sebagai pelengkap terhadap teori-teori tempat sentral, yang diketengahkan oleh Crhristaller (1933) dan kemudian diperluas oleh Losch (1940), atau dapat dikatakan bahwa teori Boudeville telah menjembatani terhadap teori-teori spasial yang terdahulu, yang menekuni persoalan-persoalan organisasi kegiatan-kegiatan manusia pada tata ruang. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan mengenai aspek-aspek geografis dan regional serta hubungan komplementer antara teori Boudeville dengan teori-teori tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan.
   Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang geografis, sedangkan teori lokasi berusaha untuk menerangkan dimana kutub-kutub pembangunan fungsional berada atau dimana kutub-kutub tersebut dilokalisasikan pada tata ruang geografis pada waktu yang akan datang. Jadi untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi. Teori tempat sentral dapat dianggap sebagai teori global yang menjelaskan mengenai ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya pembagian kerja secara spatial.
   Teori tempat sentral dan khususnya mengenai saling ketergantungan fungsional yang diformulasikan oleh Christaller tanpa memperhitungkan adanya hambatan-hambatan geografis-spasial, adalah merupakan titik permulaan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai impak pembangunan pada suatu pusat tertentu atau pada pusat-pusat lainnya dan mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pusat-pusat serta pengendalian pertumbuhan kota. Ditinjau dari segi lain terdapat kekurangan-kekurangan yaitu tempat sentral tidak menjelaskan gejala-gejala pembangunan. Teori tempat sentral dikategorisasikan sebagai teori statis, yang hanya menjelaskan adanya pola pusat-pusat tertentu dan tidak membahas adanya perubahan-perubahan pola tertentu. Teori Boudeville merupakan teori kutub pertumbuhan yang telah dimodifikasikan dan dapat digunakan untuk menganalisis gejala-gejala dinamis tersebut.
   Untuk memahami komplementaris hubungan-hubungan antara teori tempat sentral dan teori Boudeville dijumpai beberapa kesulitan. Teori tempat sentral (Christaller dan Losch) bersifat deduktif dan merupakan teori keseimbangan statis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip pada tingkat perusahaan dan hubungan-hubungan antar perusahaan. Sedangkan teori Boudeville adalah berdasarkan teori pembangunan dinamis yang menggunakan cara induktif dan berkenan dengan tingkat industri-industri dan besaran makro. Teori tempat sentral hanya menjelaskan mengenai pengelompokan pada tata ruang geografis, di lain pihak teori Boudeville berusaha menjelaskan secara simultan mengenai tata ruang fungsional (secara abstrak) dan tata ruang geografis (secara rill), yaitu menjelaskan perubahan-perubahan pada tata ruang fungsional ke dalam tata ruang geografis. Sedangkan teori kutub pertumbuhan Perroux merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan pembangunan industri dan perubahan-perubahan pada tata ruang industri dan tata ruang yang terorganisasikan, akan tetapi teori ini kurang ampuh bila diterapkan untuk pembahasan mengenai pengelompokan pada tata ruang geografis, teori ini lebih berkenan dengan pembahasan mengenai perubahan-perubahan struktural dari pada menganalisis aspek-aspek pembangunan.
   Pengelompokan pada tata ruang geografis telah diperlihatkan dalam model tempat sentral. Selanjutnya oleh Boudeville pengelompokan ini diterapkan pada pembangunan dalam arti fungsional, sedangkan difusi (penghamburan) pembangunan pada tata ruang geografis diterapkan pada pembangunan dalam tata ruang melalui tipe transformasi.
   Untuk menjelaskan difusi dorongan-dorongan pembangunan diantara kutub-kutub yang terjadi dalam kerangkan dasar dinamis diperlakukan pendekatan teoretik baru. Dalam hubungan ini hipotesis Hirscham (dampak tetesan ke bawah dan dampak polarisasi atau trickling down effect and polarization effect) dan Myrdal (dampak penyabaran dan dampak pengurasan atau spread effect and backwash effect). C. Myrdal (1976, 56-65) tentang peristiwa-peristiwa geografis dan penyebaran pertumbuhan ekonomi memberikan sumbangan yang bermanfaat, karena keduanya berusaha menggabungkan sejauh mungkin pengaruh penyebaran pertumbuhan dilihat dari aspek ekonomi. Teori Hirschamn dan teori Myrdal menelusuri pula dimensi geografis walaupun hanya secara tidak langsung.
   Teori Boudeville merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan geografis semata-mata, akan tetapi juga mengenai peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan di antara pengelompokan-pengelompokan yang bersangkutan.
   Dalam aplikasi teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan regional, nampaknya pendapat Boudenville dan konsep Perroux tidak searah. Perroux menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan karakteristik-karakteristik regional tata ruang ekonomi. Menurut Boudeville menekankan pada tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis, dalam mengembangkan pemikirannya lebih lanjut Boudeville menekankan pada tata ruang polarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Konsep ini erat berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya.
   Implikasi penting dari hubungan teori antara teori Boudeville dan teori tempat sentral dalam konteks perencanaan dan pengawasan pembangunan yang dihadapi oleh banyak negara dapat dikemukaan dua persoalaan yang relevan, yaitu:
(1)Bagaimana merintis proses pembangunan  wilayah-wilayah yang terbelakan secara     terus menerus, dan
(2)Bagaimana mengarahkan proses       urbanisasi sedemikian rupa dapat diciptakan distribusi pusat-pusat kota secara geografis yang mampu mendorong pembangunan selanjutnya (A. Kuklinski (ed), 1968, 39-40)
   Persoalan pertama merupakan salah satu usaha mengarahkan pengaruh-pengaruh pembangunan dari instalasi-instalasi yang didirikan pada unit-unit di wilayah terbelakang tersebut ke tempat-tempat tertentu disekitarnya. Unit-unit inti yang dimaksud merupakan merupakan mata rantai dalam tata ruang fungsional dan tata ruang geografis, yang menunjang masuknya inovasi dari luar dan perubahan-perubahan pembangunan melalui (dampak berantai ke belakang dan dampak berantai ke depan atau backward linkage and forward linkage sehingga difusi internal dapat dipercepat.
Persoalan kedua pada dasarnya merupakan usaha pemilihan lokasi yang tepat atau cocok untuk pendirian perusahaan-perusahaan industri dan jasa. Lokasi-lokasi tersebut merupakan bagian-bagian dari kutub-kutub pembangunan. Pengaruh-pengaruhnya didistribusikan pada sistem pusat-pusat dalam tata ruang geografis. Peristiwa-peristiwa geografis semacam ini memberikan sumbangan pada usaha-usaha untuk memperbaiki susunan geografis secara efisien.

11 January 2016

TEORI DIXIT (Model Struktur Kota)

Teori Dixit


sumber: http://www.wikipedia.org/
           Model struktur kota yang bersifat lebih umum dikembangkan oleh Dixit. Tema utama dari karya Dixit adalah ukuran kota optimum yang ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi dan disekonomi transportasi disebabkan oleh kemacetan lalulintas. Dixit membuat asumsi bahwa hanya terdapat satu perusahaan yang memproduksi komoditi tunggal dan skala hasil yang meningkat. Seperti model yang dikembangkan oleh Mills, model yang dikembangkan oleh Mills, Dixit beramsusi produsen barang adalah monopoli beralokasi di PDB. Namun dibandingkan dengan model Mills, model yang dikembangkan oleh Dixit bersifat umum. Dixit mengintegrasikan manfaat sebagai fungsi dari barang industri dan perumahan. Model Dixit memperlihatkan analitis bahwa tingkat skala peningkatan sama dengan rasio sewa tanah terhadap nilai output.
         
           Sekalipun model Dixit memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita mengenai ekonomi aglomerasi dalam suatu rangka yang lebih umum, namun kritik keras terhadap model ini adalah pemberlakuan skala ekonomi dalam sistem monopoli dianggap terlalu sederhana. Skala peningkatan internal bagi produsen yang memiliki kekuatan monopoli susah untuk diterima sebagai penyebab ekonomi aglomerasi. Model ini tidak memberikan banyak penjelasan terhadap keadaan kota modern sebenarnya. Fenomena suatu kota modern adalah terdapat banyak produsen dan terjadi perdagangan antarkota, keadaan ini jauh berbeda dari keadaan pasar monopoli. Kritik ini juga berlaku pada model yang dikembangkan oleh Mills.


PENGARUH PERKEMBANGAN AKTIVITAS EKONOMI TERHADAP STRUKTUR RUANG KOTA DI SWP III KABUPATEN GRESIK

KOTA GRESIK
  
           
http://www.nggresik.blogspot.com/
      Menurut catatan dari Tiongkok, Gresik didirikan pada abad ke-14 oleh seorang Tionghoa. Sejak abad ke-11, Gresik menjadi pusat perdagangan dan kota bandar yang dikunjungi oleh banyak bangsa seperti, Cina,Arab, Champa, dan Gujarat. Gresik juga sebagai pintu masuk Islam pertama di Jawa, yang antara lain ditandai dengan adanya makam-makam Islam kuno dari Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Fatimah binti Maimun. Gresik sudah menjadi salah satu pelabuhan utama dan kota dagang yang cukup penting sejak abad ke-14, serta menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dari Maluku menuju Sumatera dan daratan Asia (termasuk India dan Persia). Hal ini berlanjut hingga era VOC. Tahun 1411 penguasa Gresik, seorang kelahiran Guangzhou, mengirim utusan ke kaisar Tiongkok. Pada abad ke-15, Gresik menjadi pelabuhan dagang internasional yang besar. Dalam Suma Oriental-nya, Tomé Pires menyebutnya sebagai "permata pulau Jawa di antara pelabuhan dagang".
      
http://www.wikipedia.org/
        Lokasi Kabupaten Gresik terletak di sebelah barat laut Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Pusat pemerintahan Kabupaten Gresik yaitu Kecamatan Gresik berada 20 km sebelah utara Kota Surabaya. Kabupaten Gresik terbagi dalam 18 kecamatan dan terdiri dari 330 desa dan 26 kelurahan. Secara geografis, wilayah Kabupaten Gresik terletak antara 112° sampai 113° Bujur Timur dan 7° sampai 8° Lintang Selatan dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2 sampai 12 meter diatas permukaan air laut, kecuali Kecamatan Panceng yang mempunyai ketinggian 25 meter di atas permukaan laut. Sebagian wilayah Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir pantai, yaitu memanjang mulai dari Kecamatan Kebomas, Gresik, Manyar, Bungah, Sidayu, Ujungpangkah dan Panceng serta Kecamatan Sangkapura dan Tambak yang lokasinya berada di Pulau Bawean. Jenis tanah di wilayah Kabupaten Gresik sebagian besar merupakan tanah kapur yang relatif tandus.

            Berdasarkan data Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, dan Sosial Kabupaten Gresik jumlah penduduk Kabupaten Gresik pada akhir tahun 2012 sebesar 1.307.995 jiwa yang terdiri dari 658.786 laki-laki dan 649.209 perempuan, Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2011 sebesar 1.270.351 jiwa, maka terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 37.644 jiwa atau 2,9%. Dengan luas wilayah Kabupaten Gresik sebesar 1.191,25/km² maka tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Gresik adalah 1.098 jiwa/km².



TINJAUAN UMUM 

          SWP III merupakan satuan wilayah pembangunan di Kabupaten Gresik yang meliputi tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Cerme, Kecamatan Benjeng, Kecamatan Balongpanggang, Kecamatan Menganti, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Wringinanom, dan Kecamatan Driyorejo. Pusat SWP III berada pada IKK (Ibukota Kecamatan) Driyorejo. Luas wilayah SWP III adalah 445,19 km2 dan berbatasan langsung dengan empat kabupaten/kota, yaitu Kota Surabaya di bagian Timur, Kabupaten Sidoarjo di bagian Selatan, serta Kabupaten Mojokerto dan Lamongan di bagian Barat. Berdasarkan RTRW Kabupaten Gresik Tahun 2004 – 2014, SWP III direncanakan sebagai wilayah pengembangan kawasan permukiman, industri, dan campuran di Kabupaten Gresik. Begitu juga pada RTRW Kabupaten Gresik Tahun 2010 – 2030. Wilayah ini masih difokuskan untuk pengembangan kawasan permukiman skala besar yang terkonsentrasi pada Kecamatan Driyorejo, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Menganti, dan Kecamatan Cerme, kawasan industri yang terkonsentrasi pada Kecamatan Driyorejo, Kecamatan Wringinanom, Kecamatan Kedamean, dan Kecamatan Menganti, dan kawasan campuran di sepanjang jalan arteri dan kolektor pada Kecamatan Diyorejo, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Menganti, dan Kecamatan Cerme.


ANALISIS

Analisis Perkembangan Aktivitas Ekonomi di SWP III Kabupaten Gresik

         Aktivitas ekonomi yang dianalisis perkembangannya dalam penelitian ini difokuskan pada aktivitas ekonomi dominan yang terdapat di seluruh kecamatan di SWP III dan dianggap telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan fisik di wilayah tersebut. Ada tiga jenis aktivitas ekonomi dominan di wilayah penelitian, yaitu aktivitas pertanian, industri, dan permukiman. Aktivitas pertanian adalah aktivitas ekonomi yang masih sangat mendominasi di SWP III dari tahun 2004 – 2011. Namun dalam kurun waktu tersebut, luasan lahan pertanian di wilayah ini mengalami penurunan sebesar 855,79 Ha atau 2,45% dari luas lahan pertanian pada tahun 2004. Penurunan luasan lahan pertanian di SWP III sebagian besar disebabkan adanya alih fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan aktivitas pertanian di wilayah ini mengalami penurunan dan berbanding terbalik dengan perkembangan aktivitas industri dan permukiman.Perkembangan aktivitas industri dan permukiman di SWP III dari tahun 2004 – 2011 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terlihat dari pertumbuhan luasan lahannya sebesar 315,78 Ha atau 191,87% untuk lahan industri dan sebesar 718,43 Ha atau 16,85% untuk lahan permukiman. 

   Perkembangan dua aktivitas ekonomi tersebut banyak dipengaruhi oleh perkembangan pusat kota Gresik dan pinggiran Kota Surabaya yang mulai mengalami kepadatan lahan. Ketersediaan lahan terbuka yang masih sangat luas di SWP III menjadikan wilayah ini memiliki potensi yang besar untuk menjadi kawasan pengembangan aktivitas ekonomi baru di Kabupaten Gresik dan menampung perluasan aktivitas dari Kota Surabaya. Perkembangan aktivitas industri dan permukiman di SWP III sebagian besar terjadi pada Kecamatan Wringinanom, Kecamatan Driyorejo, Kecamatan Kedamean, Kecamatan Menganti, dan Kecamatan Cerme.


Analisis Arah Perkembangan Kota di SWP III Kabupaten Gresik 

     Alih fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun sebenarnya tidak hanya terjadi pada penggunaan lahan pertanian saja, tetapi juga terjadi pada penggunaan lahan terbuka lainnya, yaitu lahan rumput, danau, dan tambak. Selain itu, alih fungsi lahan terbuka juga tidak hanya diubah menjadi lahan industri dan permukiman saja, tetapi juga menjadi penggunaan lahan lainnya, seperti untuk sarana dan prasarana. Lahan sawah tadah hujan mengalami penurunan luas yang paling besar yaitu seluas 583,07 Ha. Jenis sawah ini merupakan sawah yang kurang produktif bagi aktivitas pertanian karena mengandalkan musim hujan dalam proses produksinya. Hal tersebut yang menjadikan lahan sawah tadah hujan di SWP III diarahkan untuk guna lahan lain yang lebih produktif bagi perekonomian wilayah, seperti guna lahan industri, permukiman, dan perdagangan dan jasa. 

    Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di SWP III dari tahun 2004 – 2011 ternyata mempengaruhi pola penggunaan lahan karena terjadi perubahan terhadap sebaran guna lahannya, meskipun tidak terlihat signifikan. Pada tahun 2004, pola penggunaan lahan di SWP III didominasi oleh penggunaan lahan pertanian yang tersebar merata di sebagian besar SWP III dan sebagian kecil lahan perikanan pada bagian Utara SWP III, penggunaan lahan permukiman sebagian besar tersebar dalam kelompok-kelompok luasan kecil dan pada bagian Selatan terlihat membentuk pola linear, dan persebaran penggunaan lahan industri banyak terlihat pada bagian Selatan wilayah studi membentuk pola linear. 

    Kemudian pada tahun 2011, pola lahan permukiman yang sebelumnya tersebar dalam kelompok-kelompok luasan kecil pada beberapa lokasi terlihat mengalami perkembangan menjadi kelompok luasan yang lebih besar dan pola linear pada bagian Selatan mulai terlihat lebih jelas. Sedangkan lahan industri terlihat lebih jelas membentuk pola linear pada bagian Selatan wilayah studi di tahun 2011 dan lahan industri juga mulai muncul pada bagian Utara dengan pola linear. Sebenarnya perubahan hanya terjadi pada kepadatan lahan industri dan permukiman di SWP III yang mengalami peningkatan dari tahun 2004 – 2011. Jadi perkembangan penggunaan lahan industri dan permukiman di SWP III masih mengikuti pola yang sudah terbentuk pada tahun 2004. Perkembangan aktivitas permukiman juga mempengaruhi perkembangan jaringan jalan lokal di SWP III. Pada kawasan permukiman baru berkembang pula jaringan jalan baru yang mendukung mobilitas penduduk yang tinggal di dalamnya. Tahun 2004 pola jaringan jalan di SWP III terlihat membentuk pola jalan tidak teratur akibat penggunaan lahan terbangun yang terletak meyebar. Namun pada tahun 2011, jaringan jalan baru yang tumbuh pada kawasan permukiman baru mengakibatkan terbentuknya pola jalan grid. Kawasan permukiman perkotaan yang saat ini berkembang di SWP III telah mengadopsi pola jalan grid untuk memudahkan dalam pembagian lahan dan mengefisienkan lahan. 

Perkembangan pola penggunaan lahan dan pola jaringan jalan menunjukkan adanya perkembangan kota di SWP III. Dalam kurun waktu tersebut, pola penggunaan lahan terbangun beserta pola jaringan jalannya berkembang pada lahan terbuka yang ada. Lahan terbangun baru tersebut tumbuh di antara lahan tebangun yang sudah ada sebelumnya sehingga lahan terbangun di SWP III menjadi lebih padat dari tahun 2004. Perkembangan kota seperti itu digolongkan dalam perkembangan interstisial. Perkembangan interstisial adalah perkembangan kota ke arah dalam (Zahnd, 2003). Selain itu, perkembangan kota di wilayah ini juga dikategorikan dalam bentuk perembetan kota meloncat. Jenis perembetan kota tersebut menggambarkan perkembangan lahan terbangun terjadi secara berpencar karena tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian (Yunus, 2004). Karena penggunaan lahan di SWP III masih didominasi lahan pertanian, maka lahan-lahan terbangun yang tumbuh menjadi dikelilingi lahan pertanian. 

     Perkembangan kota di SWP III dari tahun 2004 – 2011 lebih banyak dipengaruhi oleh Kota Surabaya yang berperan sebagai pusat kegiatan bagi wilayah ini dibandingkan pengaruh dari pusat kota Gresik. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan perubahan pola penggunaan lahan dan jaringan jalan yang terjadi pada kecamatan yang berbatasan dengan Kota Surabaya, yaitu Kecamatan Driyorejo dan Kecamatan Menganti. Ketersediaan fasilitas yang lebih memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, menjadikan perkembangan kota di SWP III tertarik ke wilayah yang dekat dengan Kota Surabaya. Selain itu, Kabupaten Sidoarjo juga ikut mempengaruhi perkembangan kota di SWP III. Namun pengaruh perkembangannya tidak terlalu besar karena adanya limitasi geografi berupa sungai, yaitu Sungai Kalimas, yang mengakibatkan kurangnya akses dari dan menuju kabupaten tersebut.


Analisis Perkembangan Struktur Ruang Kota di SWP III Kabupaten Gresik


         Perkembangan struktur ruang kota di SWP III dianalisis dengan cara membandingkan model struktur ruang kota pada tahun 2004 dengan model struktur ruang kota pada tahun 2011.Berdasarkan pendekatan ekologikal, model struktur ruang kota di SWP III dari tahun 2004 – 2011 tidak mengalami perubahan, yaitu tetap mendekati model teori multiple nuclei. Model tersebut dianggap paling mendekati karena ada dua daerah pusat kegiatan yang mempengaruhi wilayah penelitian, yaitu Kota Surabaya sebagai daerah pusat kegiatan utama dan pusat kota Gresik sebagai daerah subpusat kegiatan. Kota Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur tentu memiliki kegiatan perniagaan dengan skala pelayanan yang besar. Maka tidak mengherankan jika Kabupaten Gresik yang berbatasan langsung dengan Kota Surabaya, sebagian besar penduduknya masih cenderung tertarik ke Kota Surabaya untuk melakukan aktivitas perdagangan dan jasa. Sedangkan pusat kota Gresik sendiri tetap menjadi daerah pusat kegiatan di wilayah penelitian tetapi dengan skala pelayanan yang lebih kecil sehingga daya tarik ekonominya tidak sekuat Kota Surabaya. Kemudian zona permukiman dan industri yang ada di SWP III merupakan zona permukiman dan industri pinggiran karena letaknya yang jauh dari daerah pusat-pusat kegiatan yang ada.

       
        Berdasarkan pendekatan morfologi kota, struktur ruang kota SWP III tahun 2004 – 2011 juga tidak mengalami perubahan. Struktur ruang kota di SWP III tetap dikategorikan dalam bentuk kota tidak kompak, yaitu berbentuk kota terpecah. Kota terpecah merupakan ekspresi keruangan dari perkembangan suatu kota yang tidak menyatu dengan kota induknya sehingga membentuk exclaves, biasanya merupakan daerah permukiman, pada daerah pertanian di sekitarnya (Yunus, 2004). Karakteristik kota terpecah tersebut mirip dengan karakteristik pola penggunaan lahan permukiman yang ada di SWP III pada tahun 2004 – 2011. Kawasan permukiman tersebut membentuk pola menyebar yang terhubung dengan jaringan jalan lokal yang juga berpola tidak teratur menyesuaikan pola permukimannya. Struktur ruang kota seperti ini menunjukkan bahwa SWP III merupakan wilayah di Kabupaten Gresik yang baru berkembang sehingga terlihat masih banyak lahan terbuka yang tersedia. 

     Ketersediaan lahan terbuka yang masih luas menjadikan para developer masih dapat dengan bebas memilih lokasi dalam zona peruntukkan lahan permukiman untuk mereka kembangkan sebagai perumahan baru di SWP III.

    Akibatnya kawasan permukiman baru tersebut berkembang secara menyebar sehingga kurang terintegrasi dengan kawasan permukiman yang sudah adasebelumnya. Dengan pola seperti itu menjadikan kawasan permukiman di SWP III hingga tahun 2011 masih dikelilingi oleh lahan-lahan pertanian.



Analisis Pengaruh Perkembangan Aktivitas Ekonomi terhadap Struktur Ruang Kota di SWP III Kabupaten Gresik 

     Tidak terjadinya perubahan pada model struktur ruang kota di SWP III dari tahun 2004 – 2011 disebabkan model multiple nuclei merupakan model struktur ruang kota yang paling sesuai dengan kondisi perkotaan pada saat ini. Dalam perkembangannya, suatu kota akan tumbuh dengan beberapa pusat kegiatan yang saling terintegrasi. Hal tersebut terjadi akibat adanya proses pemerataan pembangunan sehingga dalam suatu kota tidak hanya bergantung pada satu pusat kegiatan saja tetapi juga harus didukung dengan sub-sub pusat kegiatan agar dapat melayani penduduk secara lebih merata. 

     Sedangkan untuk model struktur ruang kota menurut pendekatan morfologi kota, juga tidak terjadi perubahan model. Hal tersebut dikarenakan lahan terbuka di SWP III masih tersedia sangat luas sehingga perkembangan fisik yang terjadi dalam kurun waktu 7 tahun tersebut tidak membuat lahan di wilayah ini mengalami kejenuhan. Selain itu, perkembangan lahan terbangun di SWP III hingga tahun 2011 juga masih mengikuti pola ruang pada tahun 2004. Jadi, perkembangan aktivitas ekonomi di SWP III tidak mengubah model struktur ruang kotanya.


KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 

      Perkembangan aktivitas ekonomi di SWP III dari tahun 2004 – 2011 terjadi pada aktivitas industri dan permukiman. Sebagai wilayah pinggiran dengan lahan terbuka yang masih luas, SWP III dijadikan sebagai wilayah pengembangan aktivitas ekonomi baru bagi Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya. Akibatnya alih fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun untuk menampung perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah ini tidak dapat terelakkan. Alih fungsi lahan tersebut ikut mempengaruhi pola penggunaan lahan di wilayah ini menjadi lebih padat dari pola sebelumnya dan munculnya pola jaringan jalan baru pada kawasan-kawasan permukiman baru. Kecenderungan arah perkembangan kota di SWP III adalah pada daerah yang berbatasan dengan Kota Surabaya, yaitu pada Kecamatan Driyorejo dan Kecamatan Menganti, akibat besarnya tarikan aktivitas ekonomi dari Kota Surabaya. Namun perkembangan kota tersebut ternyata tidak mempengaruhi model struktur ruang kota di SWP III. Model struktur ruang kota di wilayah ini masih menunjukkan model teori multiple nuclei menurut pendekatan ekologikal dan berbentuk kota terpecah menurut pendekatan morfologi kota. Jadi perkembangan aktivitas ekonomi di SWP III dari tahun 2004 – 2011 tidak berpengaruh terhadap struktur ruang kotanya. Perkembangan aktivitas ekonomi hanya mempengaruhi pola penggunaan lahan dan pola jaringan jalan yang merupakan elemen penyusun struktur ruang kota. 

       Hasil dari penelitian ini baru sebatas mengamati perkembangan aktivitas industri dan permukiman saja yang dianggap dapat mewakili perkembangan aktivitas ekonomi di SWP III secara keseluruhan. Hal tersebut dikarenakan perkembangan dua aktivitas ekonomi itu dominan dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya. Namun tentunya perkembangan aktivitas ekonomi lain, seperti aktivitas perdagangan dan jasa, juga ikut mempengaruhi perkembangan struktur ruang kota di SWP III. Kecenderungan perkembangan aktivitas ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun pastinya akan mengkonversi lahan-lahan terbuka di SWP III dalam jumlah besar. Pemerintah setempat sebaiknya mulai menetapkan lahan-lahan pertanian abadi di wilayah ini untuk menjaga kelestarian lingkungan dan ketersedian pangan di Kabupaten Gresik. Pemerintah juga diharapkan dapat terus konsisten dalam menjaga perkembangan lahan industri dan permukiman di SWP III tetap berada dalam peruntukkan lahan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku agar tercipta suatu keteraturan pola ruang beserta struktur ruangnya.



DAFTAR PUSTAKA 



Adisasmita, Rahardjo. 2005. Pembangunan Ekonomi Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Alim, Moch. Rum. 2006. Analisis Keterkaitan dan Kesenjangan Ekonomi Intra dan Interregional Jawa-Sumatera. Disertasi, IPB. Bogor.

Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Alumni.

Hadi, Devira Putriani. 2009. Studi Perkembangan Urban Sprawl di Surabaya Metropolitan Area

Undergraduate Theses, Urban and Regional Planning ITS. Surabaya.

Khadiyanto, Parfi. 2005. Tata Ruang Berbasis pada Kesesuaian Lahan. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gresik Tahun 2004 – 2014 dan Tahun 2010 – 2030. 

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media.

Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tarigan, Robinson. 2005. Teori Ekonomi Regional. Jakarta: Bumi Aksara.

Yunus, Hadi Sabari. 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zahnd, Markus. 2003. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta: Kanisius.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Gresik (diakses 15 Jan 2016)

https://www.academia.edu/5153439/Jurnal_Teknik_PWK_Volume_1_Nomor_1_2012_PENGARUH_PERKEMBANGAN_AKTIVITAS_EKONOMI_TERHADAP_STRUKTUR_RUANG_KOTA_DI_SWP_III_KABUPATEN_GRESIK (diakses 15 Jan 2016)



04 January 2016

TEORI GLASSON (Tipe-Tipe Perencanaan)

MASIH PROSES . . .

Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe perencanaan terdiri dari, physical planning and economic planning (perencanaan fisik dan perencanaan ekonomi), allocative and innovative planning (inovasi dan alokasi perencanaan), multi or single objective planning (objek perencanaan tunggal atau lebih) dan indicative or imperative planning. Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top-down and bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat sama sekali.

TEORI FIANSTEIN DAN NORMAN (Tipologi Perencanaan)

MASIH PROSES . . .

Fianstein dan Norman (1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat macam yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Traditional planning (perencanaan tradisional).
Pada jenis perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional memiliki program inovatif terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan menggunakan standar dan metode yang professional.
b) User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna).
Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.
c) Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi).
Pada perencanaan ini berisikan program pembelaan terhadap masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan kota dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada perencanaan advokasi akan memberikan perhatian khusus terhadap melalui program khusus guna meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.
d) Incremental Planning (Perencanaan dukungan).

Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan terhadap permasalahan-permasalahan perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif sebuah kebijakan.

TEORI ADAM SMITH (Perbedaan Antara Kota dan Pedesaan)

MASIH PROSES . . .

John Adam Smith adalah seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia yang menjadi pelopor ilmu ekonomi modern. Karyanya yang terkenal adalah buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (disingkat The Wealth of Nations) adalah buku pertama yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Adam Smith adalah salah satu pelopor sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi ini muncul pada abad 18 di Eropa Barat dan pada abad 19 mulai terkenal di sana.
Adam Smith dalam pemikirannya membagi pertumbuhan ekonomi menjadi lima tahap, dimulai dari masa perburuan, masa beternak, masa bercocoktanam, masa perdagangan, dan masa perindustrian. Menurut Adam Smith, dalam perkembangannya pertumbuhan ekonomi satu masyarakat melalui proses pentahapan dari tahap yangpaling tradisional hingga tahap yang lebih maju.
Padangan Adam Smith dalam teori pertumbuhan ekonomi, yang menjadi titik perhatiannya adalah pembagian kerja dan investasi. Adam Smith berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi akan bergerak dari masyarakat tradisonal menuju masyarakat modern, namun pembagian kerja menjadi faktor lain yang turut mendukung proses pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja menjadi masukan bagi proses produksi. Adam Smith berpendapat bahwa pembagian kerja akan lebih efisien dan hasil produksi jauh lebih baik dan berkualitas dengan adanya peningkatan keterampilan tenaga kerja dan penemuan mesin-mesin.
Kedua yang menjadi fokus perhatian Adam Smith adalah kemampuan investasi dan menabungan. Kemampuan menabung oleh masyarakat dipengaruhi oleh kemampuan menguasai sumber daya. Artinya kelompok masyarakat yang menguasai sumberdaya dan mengeksplorasi merupakan modal dalam investasi dan tabungan. Asumsinya bahwa perkembangan ekonomi terjadi sebagai berikut :
a.   Perkembangan ekonomi berlansgsung secara pentahapan.
b. Adanya pembangian kerja sebagai proses efisiensi kerja dengan peningkatan keterampilan tenaga kerja dan penemuan mesin-mesin.

c. Kemampuan menabung menunjukkan kemampuan masyarakat dalam menguasai sumber daya yang ada.

TEORI RAHARDJO ADISASMITA (Simpul Jasa Distribusi Menggunakan Pendekatan Orientasi Perdagangan)

MASIH PROSES . . .

Menurut Adisasmita, bahwa konsep wilayah mengandung tiga macam pengertian yakni; wilayah homogen, wilayah nodal, dan wilayah perencanaan. Wilayah homogen diartikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa wilayah geografi dapat dikaitkan menjadi suatu wilayah tunggal, apabilah wilaya-wilayah mempunyai karakteristik yang sama dalam hal ekonomis, geografis, sosial dan politik.
Salah satu fenomena ekonomi wilayah adalah masalah “simpul” yang rumit, tetapi mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Banyak ahli ekonomi regional menghindarkan diri untuk mengupasnya, tetapi justru Poernomosidi dan Rahardjo Adisasmita tertarik dan berminat mengkajinya.
Dalam pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa Poernomosidi Hadjisarosa telah memformulasikan teori “simpul jasa distribusi” menggunakan pendekatan arus barang. Arus barang merupakan salah satu gejala ekonoi yang paling menonjol, arus barang didukung oleh jasa distribusi yaitu perdagangan dan jasa angkutan. Tingkat kepadatan arus barang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat interaksi antara simpul (jasa distribusi) besar dengan simpul-simpul kecil dan daerah-daerah lainnya yang berada dalam wilayah pengaruhnya, hal ini meripakan unsur yang penting dalam konsepsi Poernomosidi. Meskipun teori simpul jasa distribusi memiliki beberapa kelebihan di bandingkan dengan teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah sebelumnya, namun masih terdapat peluang untuk melengkapi dan memperkuat teori simpul jasa distribusi yaitu dari pendekatan yang digunakan.
Setelah dapat mengenai gejala karakterisitk terbentuknya simpul-simpul berikut struktur hirarkis yang berlaku, Rahardjo Adisasmita berusaha lebih lanjut untuk mengkaitkannya dengan fungsi-fungsi kota lainnya, sehingga dapat diperleh gambaran tentang fungsi kota seutuhnya.

Variable yang dipilih adalah yang dapat digunakan untuk menyatakan: 
(1) besaran simpul, dan 
(2) kaitan fungsional antar simpul serta besarnya pengaruh simpul yang satu terhadap yang lain. 
Besaran simpul yang dimaksudkan haruslah yang identic dengan ukuran tingkat “kemudahan” bagi masyarakat, khususnya dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhan berupa barang. Dalam hal in, sebagai ukuran tingkat “kemudahan” dapat digunakan “kepadatan” jasa distribusi, disamping “efisiensi-nya”. Dan kaitan fungsional yang dimaksudkan adalah dalam hal distribusi dan merupakan bagian dari kelengkapan fungsi simpul, sebagai akibat dari penerapan azas efisiensi dalam pelaksanaan system distribusi, sedangkan yang dimaksudkan dengan besarnya pengaruh simpul yang satu terhadap yang lain pada hakekatnya adalah besarnya kontribusi suatu simpul dalam rangka penambahan ataupun pengurangan kepadatan jasa distribusi sewaktu menuju simpul yang lain.