Laman

21 December 2015

TEORI VON THUNEN (Sewa Tanah)

RELEVANSI TEORI VON THUNEN DI KAB. GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

Sejarah

Sumber: http://wikipedia.org/
     Adanya sebagian pelarian dari Majapahit yang kemudian menetap di Gunungkidul, diawali dari Pongangan Nglipar dan Karangmojo, maka perkembangan penduduk di Kabupaten Gunungkidul pada waktu itu cepat di dengar oleh Raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro. Pada saat itu Sang Raja langsung mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran berita tersebut. Setelah datang ke Gunungkidul, ternyata benar bahwa di Gunungkidul telah banyak dihuni orang-orang pelarian dari Majapahit, antara lain Ki Suromejo.
      Tumenggung Prawiropekso kemudian menasehati pada Ki Suromejo untuk meminta ijin dulu dengan Raja Mataram di Kartosura,karena daerah ini termasuk wilayah kekuasaan Raja Mataram. Namun tidak digubris, sehingga menimbulkan perselisihan. Perselisihan itu menyebabkan Ki Suromejo dan keluarganya,yaitu Ki Mintowijoyo,Ki Poncobenawi,Ki Poncosedewa (anak menantu) terbunuh, dan Ki Poncodirjo akhirnya menyerahkan diri. Oleh Pangeran Sambernyowo.
      Ki Poncodirjo diangkat menjadi Bupati Gunungkidul I, namun tidak lama menjabat. Dikarenakan adanya penentuan batas daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831,maka Gunungkidul yang dikurangi Ngawen sebagai enclave Mangkunegaran telah menjadi daerah kabupaten.
Sumber: Google
      Menurut buku “PEPRENTAHAN PROJO KEJAWEN” karangan Mr.Raden Mas Suryadiningrat,berdirinya Kabupaten Gunungkidul yang telah memiliki sistem pemerintahan itu, ternyata bersamaan dengan tahun berdirinya daerah-daerah lain di wilayah Yogyakarta, yaitu setahun setelah selesainya perang Diponegoro. Perbedaan yang ada hanyalah untuk pemberian sebutan kepada para pengageng atau penguasa, seperti untuk daerah Denggung yang sekarang Sleman, kemudian daerah Kalasan serta daerah Bantul dengan sebutan Wedono Distrik,sedang untuk wilayah Sentolo dan Gunungkidul dengan sebutan Riyo.
      Untuk Kabupaten Gunungkidul,setelah melalui berbagai upaya yang dilakukan oelh panitia untuk melacak Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang dibentuk pada tahun 1984,baik yang terungkap melalui fakta sejarah,penelitian dan pengumpulan data dari tokoh masyarakat berhasil menyimpulkan bahwa hari lahir Kabupaten Gunungkidul adalah Hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau Tahun Jawa 15 Besar Tahun Je 1758.


Relevansi Teori Von Thunen

       Seperti telah dipaparkan di atas, Von Thunen mengidentifikasi perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Djojodipuro (1992), model teori Von Thunen mengenai tanah pertanian ini dibuat sebelum era industrialisasi dengan asumsi dasar sebagai berikut:


a. Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya, yang merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian (isolated stated);

b. Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain (single market);

c. Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan (single destination);

d. Daerah pedalaman merupakan daerah berkarakter sama dan cocok untuk tanaman dan peternakan dalam menengah (homogenous);

Sumber: Google

e. Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaiakan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan (maximum oriented);

f. Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda (one mode transportation);

g. Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh, di mana petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar (equidistant).
       Untuk beberapa hal, teori ini masih relevan, seperti dalam hal alokasi lahan untuk daerah pertanian, yang ternyata tidak hanya berlaku di pusat pertanian (desa), namun juga berlaku di perkotaan. Implikasinya adalah dalam ketersediaan lahan, di mana nilai sewa atau beli lahan yang letaknya di pusat kota bersifat semakin dekat ke pusat semakin tinggi nilai sewa atau beli lahan tersebut. Tentu saja hal ini masih relevan di daerah yang masih terbilang terpencil, di mana wilayah desa (pertanian) masih cukup jauh dari pusat kota, sehingga tradisionalitas dan akses jalan dalam kaitannya dengan transportasi menjadi faktor utama pemicu tingginya sewa lahan.



Relevansi Teori Von Thunen Terhadap Pemasaran Hutan-Hutan Rakyat di Gunung Kidul, Yogyakarta.


Sumber: http://wikipedia.org/
      Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha. Dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephutbun, 1999; SK Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997; Zain, 1998; Awang, 2001).
      Ada beberapa tanaman perkayuan yang dikembangkan di hutan rakyat Gunung Kidul, seperti : Sengon (Paraserianthes falcataria), kayu putih (Melaleuca leucadendron), aren (Arenga pinata), Sungkai (Peronema canescens), Akasia (Acacia sp.), Jati putih (Gmelina arborea), Johar (Cassia siamea), Kemiri (Aleurites moluccana), kapuk randu (Ceiba petandra), Jabon (Anthocepallus cadamba), Mahoni (Swietenia macrophylla), bambu (Bambusa), mimba (Azadirachta indica), cemara pantai (Casuarina equisetifolia), dan kaliandra (Calliandra calothyrsus).
      Jika dilihat dari teori Von Thunen, hutan rakyat memproduksi tanaman berkayu dan dapat dikembangkan pada zona III. Hal ini dikarenakan kayu memiliki sifat yang tidak mudah rusak, membutuhkan lahan yang luas dan memiliki bentuk yang besar dan berat. Karakteristik kayu ini sesuai untuk dikembangkan di zona III yang tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dengan pasar. Dengan tidak terlalu jauh dengan pasar maka biaya angkutan yang dibutuhkan untk mengangkut kayu yang kondisi fisiknya besar dan berat menjadi tidak terlalu mahal. Selain itu, pada zona ini harga sewa lahan masih cukup murah dibanding zona I dan II sehingga memungkinkan untuk menyewa lahan yang luas untuk mengembangkan tanaman perkayuan.
       Keadaan tersebut menjadi tidak relevan jika dibandingkan dengan kondisi saat ini. Petani sebagai penjual kayu tidak lagi harus memasarkan produknya di pasar melainkan pembelilah yang datang ke petani untuk membeli kayu. Pembeli yang melakukan pemanenan dan pengangkutan dari lahan petani menuju kawasan industri. Hal ini terjadi karena disebabkan beberapa hal, yaitu :

1. Sistem pemasaran kayu oleh petani masih didasarkan pada sistem butuh. Petani hanya menjual kayu jika dalam keadaan butuh. Hal ini bisa dikatakan bahwa tanaman kayu oleh petani masih dianggap sebagai sampingan dan masih belum menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika petani membutuhkan uang maka petani akan menawarkan kayunya kepada pembeli dan kemudian pembeli akan memanen dan mengangkut kayu tersebut. 

2. Sistem pasar yang terjadi di hutan rakyat adalah sistem monopsoni, yaitu keadaan dimana satu pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas. Kondisi Monopsoni sering terjadi didaerah-daerah Perkebunan dan industri hewan potong (ayam), sehingga posisi tawar menawar dalam harga bagi petani adalah tidak ada. Dengan kondisi ini maka penentuan harga sangat tergantung dari pembeli.

3. Petani memiliki kemampuan terbatas dalam melakukan pemanenan dan pengangkutan. Hal ini disebabkan modal yang dimiliki petani cukup terbatas atau bahkan tidak ada.

       Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sistem pemasaran kayu yang dilakukan oleh petani hutan rakyat sangat jauh berbeda dengan asumsi Von Thunen. Perbedaan ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

ASUMSI VON THUNEN
KEADAAN RIIL LAPANGAN
Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya, yang merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian (isolated stated)
Daerah pemasok tidak hanya berada di areal yang dekat industri namun juga di daerah yang jauh dari lokasi industri.
Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain (single market)
Lokasi industri (dalam von thunen disebut daerah perkotaan/ pasar) tidak hanya menerima bahan baku kayu dari satu daerah saja namun juga di luar daerah untuk emncukupi kebutuhan bahan bakunya.
Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan (single destination)
Petani kayu sebagai produsen bisa jadi menjual kayunya di lokasi industri luar daerah.
Petani berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaiakan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan (maximum oriented)
Petani tidak bisa mendapatkan keuntungan maksimal karena sistem pasarnya adalah monopsoni.
Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda (one mode transportation)
Angkutan yang ada cukup beragam dan didukung dengan accesbilitas yang mudah sehingga mempermudah dalam proses pengangkutan.
Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh, di mana petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar (equidistant)
Biaya angkutan ditanggung oleh pembeli.

Kesimpulan

      Dilihat dari uraian di atas, teori Von Thunen sudah tidak relevan lagi pada masa sekarang, yaitu pada jumlah pasar, yang sekarang sudah banyak tersebar, pada masalah topografis yang tidak selalu sama di tiap daerah, serta hal-hal lain yang membuktikan bahwa teori tersebut sudah tidak relevan lagi. Kemudian banyak terdapat faktor selain biaya transportasi yang juga sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dari segi komposisi keruangan. Namun teori ini masih relevan dalam hal kelangkaan, di mana alokasi lahan semakin terbatas dan sangat mempengaruhi harga sewa atau beli lahan. Kemudian bila dipandang dari kondisi pertanian Indonesia, sudah banyak ketidakcocokan, sehingga dapat dikatakan bahwa teori Von Thunen gagal diterapkan di Indonesia.
     Ketidaksesuaian Teori Von Thunen dengan masa sekarang dapat dilihat pada pasar hutan rakyat yang ada di Jawa. Kharakteristi yang ada pada pasar hutan rakyat jauh berbeda dengan asumsi yang dikemukakan oleh Von Thunen. Hal ini bisa dilihat dari sistem pasar yang membetuk yaitu monopsoni, karakteristik petani hutan rakyat yang tidak profit oriented, angkutan dan biaya transport yang ditanggung pihak pembeli, pasar yang banyak dan angkutan yang memadai.

No comments: