Laman

30 December 2015

TEORI WALTER ISARD (Masukan Transport)

Masukan Transport di Makassar


     Kawasan pusat Kota Makassar memiliki tumpah tindih 8 trayek Makassar yang menyebabkan angkutan umum menaikkan dan menurunkan penumpang disembarang tempat. Penelitian ini bertujuan 1) Menganalisis karakteristik simpul perpindahan moda ditinjau terhadap spasial dan system transportasi angkutan umum di Pusat Kota Makassar dan 2) Membuat konsep pengembangan simpul perpindahan moda transportasi angkutan umum di Pusat Kota Makassar. Metode yang digunakan yaitu deskriptif, , klasifikasi jalan rute, moda serta biaya dan waktu perjalanan. Analisis Bangkitan Perjalanan dan sebaran pergerakan. Analisis skalogram dan analisis GIS dengan guna lahan, klasifikasi jalan, feeder, dan simpul eksisting. Hasil penelitian Karakteristik simpul di perpindahan moda ditinjau terhadap spasial ditemukan 10 simpul dengan ciri-ciri penggunaan lahan lain yang bercampur atau mix used seperti perdagangan dan jasa, permukiman, perkantoran, wisata, rumah sakit, pendidikan dan RTH dan Karakteristik simpul perpindahan moda ditinjau terhadap system transportasi angkutan umum yaitu ditemukan 4 karakter moda yaitu moda angkutan umum pete-pete/angkutan umum (Rp.12000-Rp.25000) , ojek, becak, bentor serta jalan kaki (10 menit). Konsep pengembangan simpul perpindahan moda di TOD Angkutan Umum terbentuk 10 simpul dengan Pengembangan 1 TOD Simpul, 6 TOD Koridor dengan Halte 1 TOD Koridor dengan dengan Tempat Pemberhentian Bus dan 1 TOD Koridor dengan sistem parkir atau Park and Ride.


PENELITIAN (dilakukan oleh Arief Hidayat mahasiswa jurusan Teknik Transportasi pascasarjana, UNHAS)

Karakteristik Responden di Lokasi Simpul Perpindahan Moda

1. Aktivitas Responden 

     Aktivitas paling banyak adalah berbelanja yakni sebesar 28 % dari jumlah penduduk, dan pulang sekolah/bimbel sekitar 24%. Sedangkan jenis aktivitas penduduk yang paling sedikit yaitu pindah moda sekitar 7% dan lain-lain sebanyak 6%. Penduduk yang berpindah moda adalah penduduk yang melakukan perpindahan moda dari satu moda ke moda transportasi lain dengan tujuan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya. Sedangkan untuk penduduk yang menjawab lain-lain adalah penduduk yang melakukan aktifitas-aktifitas khusus seperti mengambil/mengantar barang ataupun sedang menjemput.

2. Frekuensi Responden melakukan Aktivitas 
    Aktivitas penduduk dengan jumlah frekuensi tertinggi adalah sekolah dan bimbel dimana 24 orang dari 100 penduduk melakukannya 3 – 6 kali dalam seminggu, dan untuk bekerja, 20 orang dari 100 penduduk melakukannya 5 – 6 kali dalam seminggu. lokasi penduduk melakukan aktivitas yakni 37% dari jumlah penduduk. Lokasi aktivitas berikutnya yang paling mendominasi adalah sekolah yakni 25 % dari jumlah penduduk. Adapun tempat bimbingan belajar (Bimbel) menjadi lokasi yang paling sedikit yakni hanya 3 % dari jumlah penduduk. Untuk lebih jelasnya mengenai lokasi aktivitas penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 10 dan tabel 25 berikut: 


3. Penggunaan Lahan Sekitar Simpul 

    Berdasarkan hasil survey lapangan, diketahui bahwa penggunaan lahan dominan di lokasi penelitian merupakan penggunaan lahan untuk perdagangan dan jasa dan perkantoran. 


4. Jenis Moda yang digunakan 

    Dari hasil kuisioner, diketahui bahwa sebesar 33 % penduduk membutuhkan biaya transportasi Rp. 6000 – Rp. 12.000 dalam melakukan aktivitasnya, dan 29 % penduduk membutuhkan biaya transportasi Rp.2.500 – Rp.6.000 untuk melakukan aktivitas. Adapun penduduk yang membutuhkan biaya >Rp.15.000 yakni sebesar 24 % dari penduduk. Besarnya biaya Transportasi ini, salah satunya disebabkan karena Penduduk harus berpindah moda lebih dari 2x untuk mencapai lokasi aktifitasnya. Kemudian, 8 % penduduk membutuhkan biaya Rp. 12.000 – Rp. 15.000, dan 5 % penduduk membutuhkan biaya <Rp. 2.500.untuk menempuh simpul diketahui bahwa 50 % penduduk menempuh jarak 200 – 500 m untuk mencapai lokasi simpul tempat mengambil moda, 39 % menepuh jarak <200 m, 7 % menempuh jarak 500 m – 1 km, dan 4 % menempuh jarak >1 km. 


5. Alasan Memilih Moda Angkutan Umum Pete-Pete 

     Dari hasil penelitian bahwa 51 dari 76 orang penduduk atau 51% penduduk memilih moda transportasi pete-pete karena biaya transportasi yang dihabiskan lebih murah dibandingkan menggunakan moda transportasi lain. Sedangkan yang menjawab aman yakni 5 orang atau 6,5 % dari 100 orang penduduk. Selain karena lebih murah, moda transportasi pete-pete dipilih karena akses untuk mendapatkan moda transportasi ini lebih mudah, terbukti dengan jumlah penduduk yang menjawa hal serupa yakni 10 orang atau 13 % dari 100 orang penduduk. Sementara yang menjawab lainnya adalah 5 orang atau 7 % dari 100 orang penduduk. Penduduk ini menjawab dengan alasan, karena mereka tidak memiliki moda transportasi lain untuk digunakan


Karakteristik Responden di Pemukiman 



1. Klasifikasi Mata Pencaharian Responden 

    Penduduk di lokasi penelitian untuk sampel di wilayah perumahan memiliki mata pencaharian sebagai wiraswasta yakni sekitar 29 %, karyawan swasta sekitar 22 % dan karyawan toko sekitar 18 %. 


2. Status Rumah Tinggal Responden 
     Diketahui bahwa 136 dari 390 KK penduduk memiliki status rumah tinggal sebagai hak milik pribadi, dimana untuk 106 KK yang menjadi sampel penduduk untuk Kecamatan Wajo menempati rumah sendiri dan 102 KK untuk Kecamatan Ujung Pandang. Adapun keluarga yang tinggal di rumah kontrak yakni sebesar 104 KK yang terdiri dari 78 KK menempati rumah kontrak di Kecamatan Wajo, dan 78 KK di Kecamatan Ujung pandang. 


3. Kepemilikan Kendaraan 

     Penduduk yang memiliki mobil hanya 26 % dari 390 KK penduduk untuk wilayah pemukiman di Kecamatan Wajo dan Ujung Pandang. Adapun yang memiliki Motor dan Mobil yakni 34 % dari 390 KK penduduk di wilayah pemukiman. 


4. Jenis Moda Transportasi Pilihan 
     Biaya yang murah menjadi alasan yang paling banyak dijawab oleh penduduk, dimana 48% dari 390 KK penduduk di wilayah pemukiman menjawab hal serupa. Sedangkan yang memilih karena faktor kenyamanan adalah 12 % dari total 390 KK penduduk. Adapun yang memilih Karena waktu tempuh yan lebih cepat adalah 21 %, karena keamanan 12 %, dan yang lainnya menjawab 19 %. 


5. Jarak ke tempat mengambil Moda transportasi dan Cara menempuhnya 

     Penduduk yang menempuh jarak terdekat yakni <200m untuk mengambil moda adalah 230 penduduk atau 59% dari 390 KK penduduk di Kecamatan Wajo dan Ujung Pandang. Sedangkan penduduk yang menempuh jarak terjauh terjauh yakni > 1 Km hanya 7 % yakni 26 dari 390 KK penduduk. Adapun yang menempuh jarak 200 – 500 m menuju tempat pengambilan moda adalah 89 penduduk atau 23 %, dan yang menempuh 500 m – 1 km adalah 45 penduduk atau 12 %. Hasil kuesioner diatas dapat dilihat bahwa 66 % penduduk lebih memilih untuk menggunakan becak/bentor untuk menuju tempat mengambil moda transportasi terdekat. 22% dengan berjalan kaki, 6 % menggunakan pete-pete, dan yang menggunakan kendaraan pribadi sebanyak 6 %. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar penduduk lebih memilih naik becak/bentor meskipun mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan berjalan kaki. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor jarak lokasi asal menuju lokasi simpul yang relatif jauh sehingga penduduk lebih memilih menggunakan becak/bentor. 


6. Biaya Transportasi 

      Biaya yang dikeluarkan tiap KK yang menjadi penduduk di wilayah pemukiman di Kecamatan Wajo dan Kecamatan Ujung pandang 34 % mengeluarkan <Rp,. 25.000 untuk biaya transportasi. Sedangkan 48 % atau 187 KK mengeluarkan Rp.25.000 – Rp. 50.000 untuk biaya transportasi. 6 % mengeluarkan biaya Rp. 50.000- Rp. 75.000, 6% mengeluarkan biaya Rp. 75.000 – Rp. 100.000, dan 5 % mengeluarkan biaya >Rp. 100.000. 


7. Masukan Konsep Simpul dari Penduduk di Pemukiman 
      Didapatkan informasi bahwa penduduk menginginkan adanya jenis angkutan massal yang nyaman, kapasitasnya besar, aman, dan murah seperti busway. Dimana, sebanyak 44% penduduk berpendapat di Kota Makassar memerlukan jenis angkutan Makassar tersebut. Selain busway, 35% menginginkan adanya bus, 17 % monorail, 5% kereta api. 

Analisis Simpul Perpindahan Moda

     
Lokasi simpul di Pusat Kota Makassar, terdiri dari sembilan titik simpul. Dimana titik-titik simpul tersebut diidentifikasi sebagai tempat perpindahan moda bagi penduduk dalam beraktivitas di lokasi penelitian. Titik-titik simpul tersebut berada di jalan-jalan yang dilalui oleh rute angkutan umum dilokasi penelitian yaitu ada 9 yaitu simpul Jln. Cokroaminoto, Jln. Irian, Jln. Dr. Wahidin Sudhirohusodo, Jln. Tentara Pelajar, Jln. Diponegoro, Jln. Kajolalido, Jln. Jendral Sudirman, Jln. Ahmad Yani dan Jln. Gunung Lompobattang. Lokasi ini merupakan tempat pete-pete “ngetem” atau parkir kendaraan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, sehingga kedepan perlu konsep yang jelas simpul perpindahan moda angkutan pete-pete ke feeder maupun ke transportasi massal yang jauh lebih besar. 


Analisis Skalogram untuk Menentukan Wilayah Pelayanan 

      Keberadaan fasilitas umum secara wilayah administrasi kelurahan yang berada pada lokasi penelitian menjadi dasar dalam penentuan pusat pelayanan dan nantinya digunakan untuk menentukan simpul pergerakan. Berikut ini tabel skalogram ketersediaan fasilitas pelayanan berdasarkan 18 wilayah administrasi kelurahan di Pusat Kota Makassar. Dari hasil analisis skalogram yang menjadi pusat fungsi pelayanan di Pusat Kota Makassar adalah di Kelurahan Pattunuang karena memiliki hampir semua fasilitas pelayanan yang melayani kebutuhan penduduk di wilayahnya dan di daerah sekitarnya. 


Analisis Spasial Untuk Menentukan Simpul Potensial Dan Sistem Transit 

       Dalam menentukan simpul pontensial dan sistem transit berdasarkan analisis spasial, yang perlu diperhatikan adalah letak simpul tersebut yang harus berada pada kawasan yang memiliki demand yang besar ditandai dengan kepadatan penduduk tinggi, radius pencapaian untuk simpul sebaiknya maksimal ± 3 km dari pusat kegiatan/ permukiman sehingga memudahkan pergerakan orang untuk mengakses simpul tersebut lihat gambar 2 peta analisis simpul dengan pusat permukiman. sedangkan jarak antara simpul dengan jaringan pengumpan (feeder) baik itu becak/bentor, ojek ataupun angkutan umum lainnya maksimal 0,5 km untuk memudahkan orang dalam berpindah moda lihat gambar 3 analisis kedekatan dengan feeder. 
       Untuk mengetahui konsep pengembangan simpul kedepannya, dapat dilakukan dengan menggunakan analisis overlay, dimana analisis ini yaitu menggabungkan antara skalogram yaitu pusat-pusat kegiatan di tiap kecamatan dengan hirarki jalan serta jumlah permintaan di simpul pergerakan. Hal ini memudahkan besar keputusan secara kualitatif didaerah simpul dan memperlihatkan hubungan kebutuhan di tiap simpul perpindahan moda. Adapun konsep pengembangan simpul kedepannya yaitu simpul 
1) Jalan Nusantara dengan konsep halte 
2) Jalan Tentara Pelajar dengan konsep halte 
3) Jalan Wahidin Sudirohusodo dengan konsep halte 
4) Jalan Ahmad Yani dengan konsep halte 
5) Jalan Jenderal Sudirman dengan konsep TOD 
6) Jalan Kajaolalido dengan konsep TPB 
7) Jalan Somba Opu dengan konsep halte 
8) Jalan Penghibur dengan konsep halte 
9) Jalan Penghibur dengan konsep halte 
10) Jalan Gunung Merapi sebagai simpul baru dengan konsep TPB 



Pembahasan


      Penelitian ini akan memperlihatkan pola konektifitas antar moda transportasi yang akan mengatasi persoalan kemacetan transportasi di pusat kota serta memberikan konsep pengembangan titik simpul sebagai titik transit dengan pendekatan konsep Transit Oriented Development (TOD), halte dan system parkir. 
      Penelitian ini didasarkan dari teori dengan hubungan antara variabel dan indikator. Kondisi pusat Kota Makassar saat ini sangat berkembang dengan beberapa rencana tata ruang yang telah direncanakan namun belum mampu secara detail menangani pergerakan masyarakat dan angkutan umum yang tidak teratur dengan tidak jelasnya simpul pindah moda masyarakat ditambah dengan semrawutnya penggunaan lahan yang terjadi di pusat kota. maka perlunya dikembangkan konsep simpul perpindahan moda Adapun karakteristik simpul saat ini dengan variabel yang digunakan oleh penelitian ini yaitu variabel transportasi dengan indikator pemilihan moda, pemilihan rute, biaya dan waktu perjalanan. Variabel spasial yaitu bangkitan perjalanan dan klasifikasi jalan. Hasil analisis keduanya akan dibuatkan konsep pengembangan simpul perpindahan moda pusat Kota Makassar. 
       Prinsip-prinsip yang telah dijabarkan sebelumnya pada penelitian ini akan berimplikasi pada desain stuktur TOD. Secara lebih detail, Struktur TOD dan daerah disekitarnya terbagi menjadi area-area sebagai berikut: 
  1. Fungsi publik (public uses). Area fungsi publik dibutuhkan untuk memberi pelayanan bagi lingkungan kerja dan permukiman di dalam TOD dan kawasan disekitarnya. Lokasinya berada pada jarak yang terdekat dengan titik transit pada jangkauan 5 menit berjalan kaki.
  2. Pusat area komersial (core commercial area). Adanya pusat area komersial sangat penting dalam TOD, area ini berada pada lokasi yang berada pada jangkauan 5 menit berjalan kaki. Ukuran dan lokasi sesuai dengan kondisi pasar, keterdekatan dengan titik transit dan pentahapan pengembangan. Fasilitas yang ada umumnya berupa retail, perkantoran, supermarket, restoran, servis, dan hiburan. 
  3. Area permukiman (residential area). Area permukiman termasuk permukiman yang berada pada jarak perjalanan pejalan kaki dari area pusat komersial dan titik transit. Kepadatan area permukiman harus sejalan dengan variasi tipe permukiman, termasuk single family housing, townhouse, condominium, dan apartement. 
  4. Area sekunder (secondary area). Setiap TOD memiliki area sekunder yang berdekatan dengannya, termasuk area diseberang kawasan yang dipisahkan oleh jalan arteri. Area ini berjarak lebih dari 1 mil dari pusat area komersial. Jaringan area sekunder harus menyediakan beberapa jalan/akses langsung dan jalur sepeda menuju titik transit dan area komersial dengan seminimal mungkin terbelah oleh jalan arteri. Area ini memiliki densitas yang lebih rendah dengan fungsi single-family housing, sekolah umum, taman komunitas yang besar, fungsi pembangkit perkantoran dengan intensitas rendah, dan area parkir. (5) fungsi-fungsi lain, yakni fungsi-fungsi yang secara ekstensif bergantung pada kendaraan bermotor, truk, atau intensitas perkantoran yang sangat rendah yang berada di luar kawasan TOD dan area sekunder (Dittmar, dkk, 2004). 
     
   Perencanaan halte berdasarkan Pedoman Teknik Perencanaan Halte dan Pemberhentian Bus Dirjen Perhubungan tahun 1996 ada beberapa hal menjadi Persyaratan umum tempat perhentian kendaraan penumpang umum adalah berada di sepanjang rute angkutan umum/bus, terletak pada jalur pejalan (kaki) dan dekat dengan fasilitas pejalan (kaki), diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau permukiman, tidak mengganggu kelancaran arus lalu-lintas dan pada persimpangan, penempatan fasilitas tambahan itu tidak boleh mengganggu ruang bebas pandang. Untuk system Park and Ride, secara umum didefenisikan sebagai perilaku parkir pada fasilitas parkir tertentu dan berpindah ke transportasi publik untuk melakukan perjalanan ke satu tujuan. Sistem parkir ini banyak diterapkan sebagai bagian dari manajemen transportasi. (O’Flaherly, 1997). 
      Penelitian serupa telah dilakukan dengan judul Penggunaan Transit pada Pengembangan Berbasis Transit di Portland, Oregon, Area (Dill, 2008). Penelitian ini menyajikan hasil survei penduduk beberapa TOD di daerah Portland. variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : kepadatan, penggunaan lahan campuran, keramahan pejalan kaki, dan dekat dengan transit. Analisis yang digunakan yaitu analisis kualitatif dengan menggunakan tabulasi untuk menilai penggunaan system transit yang menggunakan data kuesioner dari 300 orang responden. Hasil temuan penelitian berfokus pada menjawab dua pertanyaan: a) Sejauh mana warga menggunakan angkutan untuk Komuter dan perjalanan dengan system TOD dan b) Apakah tingkat penggunaan angkutan bervariasi dengan fisik daerah yang disesuaikan dengan konsep TOD. 
       Tulisan mengenai Pengaruh Pejalan Kaki Dengan System Transit Terhadap Bentuk Kota (Ozbil dkk, 2012), Studi ini menganalisis sebuah survey transit untuk menentukan seberapa jauh kepadatan perkotaan, campuran penggunaan lahan, dan konektivitas jaringan jalan terkait dengan mode berjalan kaki dari system transit. Data diambil dari semua stasiun jaringan rapid transit Atlanta (MARTA). Secara keseluruhan, analisis yang disajikan dalam penelitian ini memberikan penjelasan hipotesis bahwa kondisi lokal sekitar Stasiun kereta api MARTA secara signifikan terkait dengan pilihan pengendara untuk berjalan ke / dari transit.
        Evaluasi dampak dari penggunaan lahan dan strategi untuk parkir dan penyediaan angkutan pada Pilihan Moda komuter dalam kota (Zahabi dkk, 2012) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk lebih memahami hubungan antara penggunaan lahan (LU), aksesibilitas angkutan umum (PT), kebijakan parkir, dan modus pilihan untuk pinggiran kota Montreal komuter. Dalam hal ini kita mengevaluasi dampak potensial dari penggunaan lahan, aksesibilitas transit kebijakan parkir, dan pemilihan moda komuter jalur rel di wilayah Montreal, Kanada.



Kesimpulan


       Karakteristik simpul di perpindahan moda ditinjau terhadap spasial ditemukan 10 simpul dengan ciri-ciri penggunaan lahan lain yang bercampur atau mix used seperti perdagangan dan jasa, permukiman, perkantoran, wisata, rumah sakit, pendidikan dan RTH dan Karakteristik simpul perpindahan moda ditinjau terhadap system transportasi angkutan umum yaitu ditemukan 4 karakter moda yaitu moda angkutan umum pete-pete (Rp.12000-Rp.25000) , ojek, becak, bentor serta jalan kaki (10 menit). Konsep pengembangan simpul perpindahan moda di TOD Angkutan Umum terbentu 10 simpul dengan Pengembangan 1 TOD Simpul, 6 TOD Koridor dengan Halte 1 TOD Koridor dengan dengan Tempat Pemberhentian Bus dan 1 TOD Koridor dengan sistem parkir atau Park and Ride. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu berdasarkan hasil konsep pengembangan simpul secara TOD maka harus didukung dengan pengembangan angkutan massal bus. Untuk mendukung konsep TOD maka diharapkan moda ramah lingkungan untuk feeder seperti becak dan berjalan kaki. Untuk penelitian selanjutnya diperlukan kajian ekonomi, kajian lingkungan, dan kajian hukum yang lebih mendalam terhadap kelayakan pengembangan TOD simpul dan TOD Koridor di lokasi penelitian.

TEORI FRANCOS PERROUX (Pusat Pertumbuhan)

Pusat Pertumbuhan di Kab. Simalungun

   

   Kabupaten Simalungun adalah kabupaten ketiga terbesar di daerah Sumatera Utara setelah Kabupaten Madina dan Langkat. Kabupaten Simalungun memiliki letak yang strategis karena berada diantara delapan daerah kabupaten, antara lain Kabupaten Serdang Bedagai, Deli Serdang, Karo, Tobasa, Samosir, Asahan, Batu Bara dan Pematangsiantar. Luas daerah Kabupaten Simalungun 4.386,60 Km2 dan dibagi atas 31 kecamatan. Kecamatan terbesar adalah Raya dengan luas daerah 335,60 Km2 dan kecamatan yang memiliki luas daerah terkecil adalah Haranggaol Horison dengan luas daerah 34,50 Km2. Dengan memiliki wilayah yang sangat luas tentu Kabupaten Simalungun sangat berpotensi untuk membangun perekonomian daerahnya.
    Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Kab Simalungun, dari tahun 2006 – 2010 PDRB Kabupaten Simalungun mengalami peningkatan yang rendah, yakni berkisar 4.5 - 6% setiap tahunnya. Dan bila dilihat dari struktur PDRBnya, tidak ada perubahan yang signifikan yang terjadi pada kontribusi masing-masing sektornya dimana sebagian besar masih bertumpu pada sektor pertaniannya. Pada tahun 2006, kontribusi sebagian besar disumbang oleh empat sektor yakni; sektor Pertanian (58.13%), kemudian disusul oleh sektor Industri Pengolahan (16.28%), sektor Jasa (10.71%) dan sektor Perdagangan, Hotel dan Restaurant (8.01%). Kondisi ini tidak mengalami perubahan pada tahun 2010, sebagian besar masih diberikan oleh keempat sektor diatas dan dengan urutan yang sama dengan tahun 2006. Pada tahun 2010 sektor pertanian menyumbang sebesar 57,75%, sektor Industri Pengolahan (14.80%), sektor Jasa (12.14%), dan sektor Perdagangan, Hotel dan Restaurant (8.21%).

Pusat Pertumbuhan di Simalungun

   Hasil analisis skalogram yakni analisis yang hanya melihat dari keberadaan fasilitasnya, kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Simalungun dikategorikan ke dalam kelompok-kelompok. Dari 30 jenis fasilitas yang didata, jumlah jenis fasilitas tertinggi yang ada didalam satu kecamatan adalah sebanyak 25 jenis fasilitas, sementara yang terendah adalah 13 jenis fasilitas. Dengan memperhitungkan selisih antara jumlah fasilitas tertinggi dan fasilitas terendah, maka kecamatan yang ada di Kabupaten Simalungun dibagi kepada 5 kelompok. Hasil analisis skalogram setiap kecamatan di Kabupaten Simalungun dapat dilihat pada tabel d bawah.
       Kelompok I merupakan kelompok kecamatan dengan tingkat keberadaan fasilitas yang tertinggi yakni kecamatan yang memiliki 23 – 25 jenis fasilitas. Kecamatan yang berada di Kelompok I yakni Kecamatan Bandar, Girsang Simpangan Bolon, Tapian Dolok, Dolok Panribuan, Jorlang Hataran. Jenis fasilitas yang membedakan kelompok I dengan kelompok lainnya adalah keberadaan Rumah Sakit (Bandar, Girsang Simpangan Bolon, Tapian Dolok), Universitas (Bandar, Tapian Dolok), Restoran (Bandar, Girsang Simpangan Bolon, Dolok Panribuan, Jorlang Hataran). Keberadaan rumah sakit dan universitas di Kecamatan Bandar dan Kecamatan Tapian Dolok sangat erat hubungannya dengan jumlah penduduk pada kecamatan tersebut yang banyak. Sedangkan keberadaan Restoran di Kecamatan Bandar, Girsang Simpangan Bolon, Dolok Panribuan dan Jorlang Hataran selain dipengaruhi oleh jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh keberadaan Objek Wisata yang ada pada kecamatan tersebut. 
       Kecamatan yang juga memiliki keberadaan fasilitas yang tinggi adalah kecamatan yang berada di Kelompok II yakni Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Pematang Bandar, Bandar Huluan, Tanah Jawa, Bosar Maligas, Raya, Hutabayu Raja, Bandar Masilam, Panei dengan jumlah fasilitas 21-22 jenis. Jenis fasilitas yang membedakan kelompok II yakni : Kantor Pemerintahan, Rumah Sakit, SMA Negeri, SMK Negeri, SMK Swasta, Bank. Dan yang berada di kelompok III yakni dengan ketersediaan fasilitas yang sedang yakni memiliki 18-19 jenis fasilitas ada 12 kecamatan yaitu : Siantar, Gunung Malela, Sidamanik, Jawa Maraja Bah Jambi, Hatonduhan, Raya Kahean, Silou Kahean, Dolok Silou, Silimakuta, Haranggaol Horison, Panombeian Panei dan Dolok Pardamean. Jenis fasilitas yang menentukan kecamatan yang termasuk kedalam Kelompok III yakni: bank, non bank, SMA Swasta.


Kelompok Kecamatan Berdasarkan Ketersediaan Fasilitas Sosial,
Ekonomi, Pemerintahan Tahun 2010 Di Kabupaten Simalungun
                       
  No
Kecamatan
Jumlah Fasilitas
Kelompok
1
Bandar
25
I
2
Girsang Sipangan Bolon
24
I
3
Tapian Dolok
23
I
4
Dolok Panribuan
23
I
5
Jorlang Hataran
23
I
6
Dolok Batu Nanggar
22
II
7
Pematang Bandar
22
II
8
Bandar Huluan
22
II
9
Tanah Jawa
21
II
10
Bosar Maligas
21
II
11
Raya
21
II
12
Hutabayu Raja
21
II
13
Bandar Masilam
21
II
14
Panei
21
II
15
Siantar
20
III
16
Gunung Malela
20
III
17
Sidamanik
20
III
18
Jawa Maraja Bah Jambi
20
III
19
Hatonduhan
19
III
20
Raya Kahean
19
III
21
Silou Kahean
19
III
22
Dolok Silou
19
III
23
Silimakuta
19
III
24
Haranggaol Horison
19
III
25
Panombeian Panei
18
III
26
Dolok Pardamean
18
III
27
Ujung Padang
17
IV
28
Purba
17
IV
29
Gunung Maligas
16
IV
30
Pematang Sidamanik
16
IV
31
Pematang Silimahuta
13
V

Sumber : BPS Kab. Simalungun, diolah

      Kelompok V merupakan kelompok kecamatan yang memiliki tingkat keberadaan fasilitas yang paling rendah, yakni hanya memiliki 13 jenis fasilitas. Kecamatan yang berada di Kelompok V adalah Kecamatan Pematang Silimahuta. Hal ini berhubungan dengan kecamatan Pematang Silimahuta yang baru saja mengalami pemekaran sehingga masih dalam tahap pembenahan. Sementara itu kecamatan yang juga memiliki tingkat ketersediaan fasilitas yang rendah adalah kecamatan yang berada di kelompok IV yaitu Kecamatan Ujung Padang, Purba, Gunung Maligas, Pematang Sidamanik dengan 16 - 17 jenis fasilitas. 
   Pada hasil analisis skalogram diatas, dapat dilihat bahwa ada kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang besar akan tetapi tingkat keberagaman fasilitas yang ada pada kecamatan tersebut rendah seperti Kecamatan Siantar dan Ujung Padang. Dan ada juga kecamatan yang memiliki luas penduduk yang kecil tetapi memiliki keberagaman fasilitasyang tinggi seperti Girsang Simpangan Bolon, Jorlang Hataran dan Dolok Panribuan. Meskipun demikian, untuk menentukan kecamatan sebagai pusat pertumbuhan tidak cukup hanya melihat keberagaman fasilitasnya saja, tetapi juga mempertimbangkan frekuensi setiap jenis fasilitas tersebut. Tingkat frekuensi fasilitas pada suatu kecamatan mempengaruhi indeks sentralitas kecamatan tersebut. Semakin tinggi frekuensinya maka akan semakin besar nilai pusatnya.


Perhitungan Nilai Indeks Sentralitas Setiap Kecamatan
Di Kabupaten Simalungun

No

Jumlah
Nilai


No
Analisis
Kecamatan
Hierarki

Penduduk
Sentralitas


Skalogram









1
15
Siantar
62916
2545.000
I

2
1
Bandar
63584
1956.000
II

3
9
Tanah Jawa
46568
1814.294
II

4
11
Raya
30876
1780.952
II

5
10
Bosar Maligas
38970
1738.095
II

6
27
Ujung Padang
40522
1676.471
III

7
6
Dolok Batu Nanggar
39364
1568.182
III

8
12
Hutabayu Raja
29135
1461.810
III

9
7
Pematang Bandar
31324
1381.818
III

10
17
Sidamanik
27053
1320.000
III

11
16
Gunung Malela
32676
1295.000
III

12
14
Panei
21425
1128.571
IV

13
30
Pematang Sidamanik
16283
1062.500
IV

14
8
Bandar Huluan
25738
1004.545
IV

15
3
Tapian Dolok
38034
995.652
IV

16
4
Dolok Panribuan
17947
969.565
IV

17
13
Bandar Masilam
24316
961.905
IV

18
28
Purba
21830
958.824
IV

19
29
Gunung Maligas
26173
950.000
IV

20
19
Hatonduhan
21140
936.842
IV

21
21
Silou Kahean
17000
931.579
IV

22
20
Raya Kahean
17398
921.053
IV

23
26
Dolok Pardamean
16008
850.000
V

24
25
Panombeian Panei
19193
827.778
V

25
2
Girsang Sipangan Bolon
14325
808.333
V

26
23
Silimakuta
13611
784.211
V

27
5
Jorlang Hataran
15316
756.522
V

28
22
Dolok Silou
13716
731.579
V

29
18
Jawa Maraja Bah Jambi
19951
710.000
V

30
31
Pematang Silimahuta
10334
446.154
V

31
24
Haranggaol Horison
4994
431.579
V



Sumber : BPS Kab.Simalungun 2011, diolah

     Berdasarkan nilai sentralitasnya maka kecamatan di Kabupaten Simalungun terdiri dari 5 Hierarki. Pembagian hierarki ini dasarkan atas dasar perhitungan Sturges. Hierarki setiap kecamatan adalah sebagai berikut :
  • Hierarki I adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas paling/memiliki nilai sentralitas yang paling tinggi yakni Kecamatan Siantar. 
  • Hierarki II adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks sentralitas tinggi ada 4 kecamatan yaitu Kecamatan Bandar, Tanah Jawa, Raya, Bosar Maligas. 
  • Hierarki III adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks sentralitas yang sedang ada 6 kecamatan yaitu : Kecamatan Ujung Padang, Dolok Batu Nanggar, Hutabayu Raja, Pematang Bandar, Sidamanik, dan Gunung Malela. 
  • Hierarki IV adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks sentralitas rendah, ada 11 kecamatan yaitu : Kecamatan Panei, Pematang Sidamanik, Bandar Huluan, Tapian Dolok, Dolok Panribuan, Bandar Masilam, Purba, Gunung Maligas, Hatonduhan, Silou Kahean, Raya Kahean. 
  • Hierarki V adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks sentralitas paling rendah, ada 9 kecamatan yaitu : Dolok Pardamean, Panombeian Panei, Girsang Simpangan Bolon, Silimakuta, Jorlang Hataran, Dolok Silou, Jawa Maraja Bah Jambi, Pematang Silimahuta, Haranggaol Horison.
      Berdasarkan peringkat hierarki diatas, maka ada 5 kecamatan yang dapat ditetapkan sebagai kecamatan pusat pertumbuhan, yaitu Kecamatan Siantar, Bandar, Tanah Jawa, Raya dan Bosar Maligas. Hal ini didasarkan pada ketersediaan fasilitas pada kecamatan tersebut, baik dari keberagaman dan frekuensinya lebih baik dibandingkan dari kecamatan yang lainnya.

Kesimpulan



     Berdasarkan data-data yang telah dihimpun, kemudian dianalisis dengan metode analisis yang telah disebutkan sebelumnya, maka dari penelitian yang dilakukan dapat dihasilkan kesimpulan sebagai berikut ini : 
  1. Berdasarkan hasil analisis skalogram dan indeks sentralitas yang dilakukan dengan menggunakan 30 jenis fasilitas yang dijadikan sebagai indikator terdapat 5 kecamatan yang ditetapkan sebagai kecamatan pusat pertumbuhan yaitu : Kecamatan Siantar, Bandar, Tanah Jawa, Raya dan Bosar Maligas. Kelima kecamatan tersebut memiliki nilai sentralitas yang lebih tinggi dari kecamatan lainnya. 
  2. Berdasarkan hasil analisis gravitasi menunjukkan bahwa kecamatan pusat pertumbuhan Siantar memiliki hubungan interaksi yang paling kuat dengan Kecamatan Gunung Malela sebagai wilayah hinterlandnya. Kecamatan pusat pertumbuhan Bandar memiliki hubungan interaksi yang paling kuat dengan Kecamatan Pematang Bandar. Kecamatan Tanah Jawa sebagai kecamatan pusat pertumbuhan memiliki hubungan interaksi yang paling kuat dengan Kecamatan Hatonduhan. Kecamatan pusat pertumbuhan selanjutnya yakni Kecamatan Raya memiliki interaksi yang paling kuat dengan Kecamatan Panei sebagai kecamatan hinterlandnya. Dan kecamatan pusat pertumbuhan Bosar Maligas memiliki hubungan interaksi yang paling kuat dengan Kecamatan Bandar. Selain hubungan interaksi antara kecamatan pusat pertumbuhan dengan wilayah hinterlandnya, terdapat juga intraksi sesama kecamatan pusat pertumbuhan. Kecamatan pusat pertumbuhan yang memiliki hubungan interaksi dengan sesama kecamatan pusat pertumbuhan yaitu Kecamatan Tanah Jawa dengan Siantar dan Kecamatan Bandar dengan Bosar Maligas.