Laman

30 December 2015

AUGUST LOSCH (Keseimbangan Spasial)

1. Perkembangan Ruang di Kota Bandung
     

Sejarah

       Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang lalu membentuk telaga. Legenda yang diceritakan oleh orang-orang tua di Bandung mengatakan bahwa namaBandung diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandungyang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Ci Tarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di Dayeuhkolot.
      Berdasarkan filosofi Sunda, kata Bandung juga berasal dari kalimat Nga-Bandung-an Banda Indung, yang merupakan kalimat sakral dan luhur karena mengandung nilai ajaran Sunda. Nga-Bandung-an artinya menyaksikan atau bersaksi. Banda adalah segala sesuatu yang berada di alam hidup yaitu di bumi dan atmosfer, baik makhluk hidup maupun benda mati. Sinonim dari banda adalah harta. Indung berarti Ibu atau Bumi, disebut juga sebagai Ibu Pertiwi tempat Banda berada.
       Dari Bumi-lah semua dilahirkan ke alam hidup sebagai Banda. Segala sesuatu yang berada di alam hidup adalah Banda Indung, yaitu Bumi, air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia dan segala isi perut bumi. Langit yang berada di luar atmosfir adalah tempat yang menyaksikan, Nu Nga-Bandung-an. Yang disebut sebagai Wasa atau SangHyang Wisesa, yang berkuasa di langit tanpa batas dan seluruh alam semesta termasuk Bumi. Jadi kata Bandung mempunyai nilai filosofis sebagai alam tempat segala makhluk hidup maupun benda mati yang lahir dan tinggal di Ibu Pertiwi yang keberadaanya disaksikan oleh yang Maha Kuasa.

Kondisi Geografis

Sumber: http://www.indotraveler.com/
     Kota Bandung berada pada ketinggian sekitar 791 meter di atas permukaan laut. Titik tertinggi ada di sebelah utara dengan ketinggian 1.050 meter dan titik terendah ada di sebelah selatan dengan ketinggian 675 meter. Kota Bandung diapit oleh punggung Gunung Tangkuban Perahu di bagian utara dan Gunung Malabar di bagian selatan yang membuat kota Bandung menjadi semacam cekungan. Wilayah sebelah utara kota Bandung relatif berbukit-bukit kecil dan di sebelah selatan merupakan daerah dataran. Wilayah kota Bandung dilewati oleh sungai Cikapundung yang mengalir dari utara ke selatan dan sungai Citarum yang mengalir dari selatan ke utara (Pemerintah Kota Bandung, 2004).
   Penduduk kota Bandung tahun 2000 adalah 2.136.260 jiwa, bertambah menjadi 2.374.198 jiwa pada tahun 2008 dan menjadi ± 2.420.146 jiwa pada tahun 2011. Perkembangan penduduk yang pesat menuntut penyediaan pemukiman dan sarana prasarana pendukungnya. Hal ini tidak mudah dipenuhi karena sebagian lahan di bagian utara merupakan wilayah resapan air, di bagian selatan merupakan daerah aliran sungai (DAS) Citarum dan di bagian timur merupakan rawa-rawa. Selain itu, kota Bandung juga menghadapi permasalahan lingkungan yang serius akibat per-kembangan kota yang mengutamakan kegiatan ekonomi (Pemerintah Kota Bandung, 2004, 2009; Badan Pusat Statistik, 2009, 2012).


Perubahan dan perkembangan keruangan (spasial) di Kota Bandung dalam kurun waktu   2008-2012 

       

Sumber: Google Earth
Kota Bandung adalah kota yang mengalami perubahan fisik yang pesat. Penggunaan lahan terus mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir, dengan kecenderungan penambahan pemukiman dan kawasan industri dan pengurangan lahan persawahan. Pemukiman baru lebih berkembang mengikuti jalan karena masyarakat lebih senang jika memiliki rumah atau bangunan dekat dengan jalan sehingga aksesibilitasnya menjadi mudah. Selain itu, rumah atau bangunan yang berada di sepanjang jalan akan lebih cocok untuk membuka usaha. Berdasarkan informasi yang kami peroleh di BPS Bandung, dapat dilakukakan analisi sebagai berikut :

1. Penggunaan Lahan Persawahan

Kota Bandung
        Pada tahun 2008, penggunaan lahan untuk persawahan masih cukup luas sekitar 1.727,00 Ha. Pada tahun 2009 sekitar 1.719 Ha atau berkurang 8 Ha dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 sekitar 1.474 Ha (8,81%) atau berkurang 245 Ha dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2011 sekitar 1.354 Ha (8.09%) atau berkurang 120 Ha dari tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena minat masyarakat pada tanah pertanian semakin meningkat untuk dijadikan sebagai tanah kosong yang nantinya digunakan untuk pemukiman, pertokoan maupun perindustrian.

2. Penggunaan Lahan Pekarangan dan Bangunan (Perumahan, Sekolah, Industri)
        Penggunaan lahan untuk persawahan terus mengalami penyempitan, namun berbeda sebaliknya dengan penggunaan lahan pekarangan dan bangunan seperti perumahan, sekolah, dan kawasan industri dari tahun ke tahun mengalami peningkatan luasan. Pada tahun 2008 lahan pekarangan dan bangunan sekitar 7.526,00 Ha. Pada tahun 2009 sekitar 7.538 Ha atau mengalami perluasan sebesar 12 Ha dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 sekitar 6.042,46 Ha (36,12%) atau mengalami penyempitan sebesar 1.495,54 Ha dari tahun sebelumnya. Dan pada tahun 2011 sekitar 12.739 Ha (76,14%) atau mengalami perluasan sebesar 6.696,54 Ha dari tahun sebelumnya.

       Dari informasi yang telah diuraikan di atas dapat diindikasikan bahwa permintaan lahan di Kota Bandung mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini terjadi karena banyak masyarakat yang membeli lahan untuk kawasan pemukiman, pertokoan, maupun industri sehingga mengakibatkan terjadinya revitalisasi transportasi di Kota Bandung yang menjadikan aksesibilitas semakin dimudahkan. Hal ini terlihat semakin banyaknya pemukiman, petokoan dan industri di sebelah kiri jalan di Kota Bandung.


Kebijakan Penggunaan Lahan 

     Dalam RTRW Kota Bandung 2004-2013 dan RDTRW enam wilayah pengembangan, pengem-bangan RTH sampai tahun 2013 ditargetkan seluas 1.425 ha. Pada tahun 2003 kota Bandung hanya memiliki RTH 248 ha (1,48% dari luas wilayah kota Bandung) dan diharapkan bertam-bah seluas 1.425 ha sehingga menjadi 1.673 ha (10%) pada tahun 2013 (Pemerintah Kota Ban- dung, 2004, 2005, 2006a, 2006b, 2007a, 2007b & 2007c).
    Pengembangan RTH direncanakan pada kawasan lindung, kawasan pelestarian alam (KPA) dan kawasan perlindungan setempat (KPS). Pengembangan RTH pada kawasan lindung direncanakan melalui kegiatan:
a) pengukuhan kawasan lindung (penunjukan, penataan batas, pemetaan, penetapan dan penguasaan kawasan lindung)
b) rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan lindung. Sementara itu, pengembangan RTH pada kawasan KPA direncanakan melalui intensifikasi kawasan KPA.
     Lebih lanjut, pengembangan RTH pada KPS direncanakan dengan:
1) menambah jalur hijau di sepanjang jalan;
2) intensifikasi dan ekstensifikasi RTH di sepanjang sempadan sungai dan saluran udara tegangan  tinggi;
3) intensifikasi dan eksten-sifikasi RTH di kawasan taman kota, dan pemakaman umum, serta di sekitar danau buatan dan mata air dan;
4) pembangunan RTH berbasis demografi dalam bentuk taman lingkungan (taman dan hutan kota) di pusat-pusat pemukiman seluas 2,3 m2 per penduduk dengan rincian sebagai berikut:
  1. Taman lingkungan RT untuk 250 penduduk dengan luas 250 m2, atau dengan standar 1 m2  per penduduk. 
  2. Taman lingkungan RW untuk 2.500 penduduk dengan luas 1.250 m2, atau dengan standar 0,5 m2 per penduduk. 
  3. Taman skala kelurahan untuk 25.000-30.000 penduduk dengan luas 9.000 m2, atau dengan standar 0,3 m2 per penduduk. 
  4. Taman skala kecamatan untuk 120.000 pen-duduk dengan luas 24.000 m2, atau dengan standar 0,2 m2 per penduduk. 
  5. Taman skala WP untuk 480.000 penduduk de-ngan luas 12,4 ha, atau dengan standar 0,3 m2 per penduduk. 
      Rencana pengembangan RTH taman ling-kungan pada tahun 2004-2013 adalah sebanyak 2.858 RTH dan seluas 127,25 ha (Tabel 2 dan Tabel 3). Dengan demikian, rencana pengem-bangan RTH taman lingkungan sampai tahun 2011 adalah sekitar 2.286 RTH seluas 101,80 ha, dengan luas rata-rata 445 m2 per RTH. Jika pengembangan RTH taman lingkungan berjalan sesuai rencana maka pada tahun 2011 akan tersedia RTH taman lingkungan seluas 217,14 ha (115,34 ha + 101,80 ha) atau rata-rata 0,93 m2 per penduduk.

Kesimpulan       

          Dalam kurun waktu delapan tahun (2004-2011), rencana pengembangan 10 jenis RTH di Kota Bandung adalah seluas 1.854 ha, termasuk 101,80 ha RTH taman lingkungan berbasis demo-grafi seluas 101,80 ha, dengan luas rata-rata 0,93 m2 per penduduk. Dalam realisasi, RTH yang dikembangkan adalah seluas 1.663 ha, termasuk 101,04 ha RTH taman lingkungan yang tidak berbasis demografi, bervariasi mulai dari 0,05 m2 per penduduk di wilayah Tegallega sampai 2,58 m2 per penduduk di wilayah Ujungberung, dengan luas rata-rata 0,89 m2 per penduduk. Secara keseluruhan, Kota Bandung baru memiliki RTH seluas 1.911 ha (11,42% wilayah Kota Bandung) sehingga masih perlu dikembangkan RTH seluas 3.108 ha (18,58%) untuk memenuhi ketentuan penyediaan RTH sebesar 30%.

Saran

        Upaya meningkatkan RTH dalam luasan yang berarti dapat dilakukan dengan melanjutkan kegiatan penanaman pohon dan inventarisasi RTH pekarangan, meningkatkan dan memasuk-kan dana pengembangan RTH dalam anggaran khusus APBD dan melibatkan pemangku kepentingan dalam pengembangan RTH.

29 December 2015

TEORI WEBER CHRISTALLER (Tempat Sentral)



Teori Tempat Sentral

     Teori Central Place dikemukakan pertama kali oleh Christaller pada pertengahan tahun 1933 yang memodelkan perilaku ritel secara spasial. Christaller pertama kali mempublikasikan studinya yang berkaitan dengan masalah penentuan jumlah, ukuran dan pola penyebaran kota-kota. Asumsi-asumsi yang dikemukakan antara lain: 
  •  Suatu lokasi yang memiliki permukaan datar yang seragam. 
  •  Lokasi tersebut memiliki jumlah penduduk yang merata. 
  •  Lokasi tersebut mempunyai kesempatan transpor dan komunikasi yang merata. 
  •  Jumlah penduduk yang ada membutuhkan barang dan jasa. 
  • Selain teori dari Weber, juga akan dibahas teori tempat pusat (Central Place Theory) dari Walter Christaller (1933). Prinsip yang dikemukakan oleh Christaller adalah: 
  •  Range (jarak) adalah jarak jangkauan antara penduduk dan tempat suatu aktivitas pasar yang menjual kebutuhan komoditi atau barang. Misalnya seseorang membeli baju di lokasi pasar tertentu, range adalah jarak antara tempat tinggal orang tersebut dengan pasar lokasi tempat dia membeli baju. Apabila jarak ke pasar lebih jauh dari kemampuan jangkauan penduduk yang bersangkutan, maka penduduk cenderung akan mencari barang dan jasa ke pasar lain yang lebih dekat. 
  •  Threshold (ambang batas) adalah jumlah minimum penduduk atau konsumen yang dibutuhkan untuk menunjang kesinambungan pemasokan barang atau jasa yang bersangkutan.


     Dari komponen range dan threshold lahir prinsip optimalisasi pasar (market optimizing principle). Prinsip ini antara lain menyebutkan bahwa dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah akan terbentuk wilayah tempat pusat (central place). Pusat tersebut menyajikan kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk sekitarnya. Apabila sebuah pusat dalam range dan threshold yang membentuk lingkaran bertemu dengan pusat yang lain yang juga memiliki range dan threshold tertentu, maka akan terjadi daerah yang bertampalan. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah yang bertampalan akan memiliki kesempatan yang relatif sama untuk pergi ke dua pusat pasar itu. Dalam kenyataannya, konsumen atau masyarakat tidak selalu rasional dalam memilih barang atau komoditi yang diinginkan Keterba-tasan sistem tempat pusat dari Christaller ini meliputi beberapa kendala, antara lain: 
  •  Jumlah penduduk. 
  •  Pola aksesibilitas. 
  •  Distribusi. 
     Berdasarkan teori ini, terdapat dua hal mendasar yang menjadi pertimbangan yaitu jarak dan ambang batas. Jarak adalah seberapa jauh konsumen mau melakukan perjalanan untuk membeli barang sedangkan ambang batas adalah permintaan minimum yang dibutuhkan bagi sebuah toko agar dapat melangsungkan usahanya. Konsumen diasumsikan berada pada tingkat pendapatan yang sama akan tersebar merata di seluruh wilayah sehingga jarak adalah satu-satunya hambatan bagi konsumen dalam melakukan perjalanan. Kombinasi jarak dan ambang batas ini akan menggambarkan jangkauan pelayanan ritel. Bentuk jangkauan pelayanannya adalah heksagonal sehingga model ini menggambarkan lokasi optimal bagi gerai ritel karena mengkombinasikan antara jarak tempuh konsumen dengan skala ekonomi optimal ritel.

Perkembangan di Kawasan Tanjungsari


     Kawasan Perkotaan Tanjungsari merupakan wilayah yang menunjukkan ciri perkotaan di Kabupaten Sumedang setelah Kawasan Perkotaan Sumedang sebagai ibukota Kabupaten. Kawasan Perkotaan Tanjungsari yang terdiri dari Desa Tanjungsari, Desa Margaluyu, dan Desa Jatisari berada dalam Kecamatan Tanjungsari dan Desa Cikeruh, Desa Hegarmanah,dan Desa Sayang yang termasuk ke dalam Kecamatan Jatinangor. Dalam rangka pengembangan wilayah Jawa Barat, Kawasan Perkotaan Tanjungsari sebagai bagian dari Kabupaten Sumedang termasuk ke dalam Kawasan Andalan Cekungan Bandung yang berfungsi sebagai pusat pengembangan sumberdaya manusia. Kawasan Perkotaan Tanjungsari yang memiliki jarak 30 km dari Kota Bandung juga memiliki peranan cukup penting dalam pengembangan Bandung Metropolitan Area yaitu termasuk ke dalam Wilayah Pengaruh, yaitu daerah yang diarahkan untuk membantu mengendalikan arus desa kota dan ketergantungan pelayanan ke kota Bandung (counter magnet).
     Sebagai Kota yang mendapat dampak dari modernisasi perkotaan, Kawasan Perkotaan Tanjungsari juga mengalami perkembangan pada sektor-sektor penunjang perkotaan, khususnya pada sektor perdagangan. Perkembangan Kawasan Perkotaan Tanjungsari bersifat ribbon development dan menyebar di sepanjang jalan utama yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kota Sumedang. Perkembangan pada sektor perdagangan dan jasa ditandai dengan muncul minimarket sebagai salah satu pemenuhan permintaan masyarakat dan perkembangannya. 



Jumlah Toko Pengecer Tradisional dan Minimarket di Tiga Kota 



Jumlah
Kebutuhan
Jumlah Toko


Kawasan

Penduduk
Jumlah

Desa
Jumlah Toko
Pengecer

Penelitian
Tahun 2007
Minimarket


menurut standar
Tradisional



(jiwa)








Kawasan Perkotaan Tanjungsari





Kawasan
Sayang
1.600
6
58
0

Cikeruh
9.936
40
63
2

Pendidikan

Hegarmanah
2.268
9
71
3




Jumlah
13.804
55
192
5

Kawasan
Jatisari
5.630
23
39
1

Perdagangan
Tanjungsari
5.591
22
52
1


Margajaya
4.686
19
3
0


Jumlah
15.907
64
94
2

Kawasan Perkotaan  Soreang





Kawasan
Karamatmulya
11.183
45
18
0

Pamekaran
18.819
75
74
5

Perdagangan

Soreang
25.948
104
87
0




Jumlah
55.950
224
179
5

Kawasan
Sekarwangi
9.010
36
27
1

Permukiman
Cingcin
28.846
115
102
3


Jumlah
37.856
151
129
4

Kawasan
Sadu
13.457
54
27
0

Panyirapan
8.972
36
24
0

Lainnya

Parungserab
10.929
44
27
0




Jumlah
33.358
133
78
0

Kawasan Perkotaan Lembang






Lembang
12.974
52
70
3


Jayagiri
17.220
69
51
2

Kawasan
Kayuambon
7.025
28
18
3

Langensari
11.189
45
20
0

Wisata

Cikahuripan
8.538
34
25
0




Gudang kahuripan
11.788
47
36
0


Cibogo
9.683
39
39
0


Jumlah
78.417
314
259
8


Sumber: Hasil Pengolahan Data dari Survei Data Primer pada Minimarket dan toko Pengecer tradisional di Kota Tanjungsari, Soreang dan Lembang, 2009 dan SNI 1733 mengenai standar Perencanaan Lingkungan


     

    Jumlah ritel modern di Kawasan Perkotaan Tanjungsari adalah 9 buah dan terdiri dari 2 toko berupa pasar swalayan yang berada di pusat-pusat kegiatan pendidikan dan pusat perdagangan serta 7 toko berupa minimarket yang tersebar di seluruh pusat kegiatan di kota. Toko di Kecamatan Tanjungsari tersebar di pusat-pusat kegiatan dan permukiman untuk menunjang kebutuhan masyarakat selaku konsumen di Kota Tanjungsari. Jumlah pengecer tradisional berupa toko kelontong /warung sangat besar dan tersebar hampir di seluruh wilayah Kota Tanjungsari. Sebaliknya, minimarket dan pasar swalayan yang termasuk dalam kategori pengecer modern terletak di pusat-pusat kegiatan perdagangan dan jasa. 
    Perkembangan Kota Tanjungsari yang bersifat ribbon development menjadi salah satu penyebab toko kelontong dan minimarket terkonsentrasi di sepanjang jalan utama yang menghubungkan Kota Tanjungsari dengan kota lain di sekitarnya 
     Tanjungsari terbagi menjadi 2 kawasan yaitu kawasan perdagangan dan pendidikan. Karakteristik persebaran pengecer di kawasan pendidikan dan kawasan perdagangan di Kota Tanjungsari berbeda satu sama lainnya. Jika dilihat dari persebaran dan jumlahnya (Tabel 1 dan gambar 3), jumlah toko kelontong dan minimarket di kawasan pendidikan lebih banyak daripada toko kelontong dan minimarket yang berada di kawasan perdagangan. Hal ini dikarenakan bangkitan pengunjung di kawasan pendidikan lebih tinggi dibandingkan di kawasan perdagangan. Pada kawasan pendidikan, pengunjung tidak hanya berasal dari penduduk setempat, namun juga dari mahasiswa-mahasiswa kampus yang tidak bermukim di sekitarnya (komuter). 
     Jumlah minimarket di kawasan pendidikan terkonsentrasi di Desa Hegarmanah dan Desa Cikeruh yang memiliki jumlah penduduk terbesar dan berlokasi dekat dengan sarana pendidikan tinggi. Berbeda dengan jumlah minimarket, jumlah toko kelontong di kawasan pendidikan tersebar di seluruh desa bahkan hingga ke pelosok kawasan perumahan. 
    Kemudian pada kawasan perdagangan, jumlah minimarket dan toko kelontong terkonsentrasi di Desa Jatisari dan Desa Tanjungsari. Lokasi minimarket tersebut berada pada pusat perdagangan di kawasan Perkotaan Tanjungsari. Walaupun Desa Margaluyu memiliki fungsi sebagai kawasan perumahan di Kecamatan Tanjungsari, namun tidak terdapat minimarket di daerah tersebut. Lokasi toko kelontongpun tersebar di kawasan perdagangan di sekitar pasar lama Tanjungsari hingga ke pelosok permukiman. Berbeda dengan kawasan pendidikan, konsentrasi toko kelontong di Desa Tanjungsari dan Desa Jatisari yang berada pada kawasan perdagangan terdapat di dekat permukiman penduduk.

Perkembangan di Kawasan  Perkotaan  Soreang     


    Perkembangan Soreang sebagai kota kecil dan berada di pinggir Kota Bandung tidak lepas dari perkembangan Kota Bandung yang terletak 20 km dari Kota Soreang. Status Soreang dalam konstelasi Wilayah Metropolitan Bandung adalah sebagai kota satelit 1 yaitu kawasan perkotaan di sekitar dan /atau terkait langsung dengan kota inti Bandung, Cimahi (Padalarang-Ngamprah, Soreang-Katapang, Majalaya-Solokan, Rancaekek-Cicalengka, dan Jatinangor-Tanjungsari, dan Lembang-Parongpong). Secara ekonomi, kedudukan Soreang berada pada orde dua dan orde empat untuk Kecamatan Katapang yang terhubung langsung dalam hierarki kecamatan di Metropolitan Bandung. Dalam kedudukan ini Kawasan Perkotaan Soreang memiliki fungsi pemerintahan, industri pertanian, perdagangan, dan permukiman. 
    Pertumbuhan penduduk di Soreang yang semakin meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 3.15 % dari tahun 2004-2007 menyebabkan pengeluaran untuk makanan khususnya makanan jadi menjadi meningkat. Berdasarkan hasil Suseda Kabupaten Bandung tahun 2008, pengeluaran rata-rata per kapita sebulan tertinggi adalah makanan dengan jenis komoditi padi-padian dan kemudian makanan jadi. Terbatasnya lahan di PKN Bandung dan tingginya peluang usaha di kota-kota kecil yang terletak di pinggiran Kota Bandung menyebabkan pergeseran kecenderungan pelayanan ritel modern dalam bentuk minimarket ke kota-kota kecil. Pada Kawasan Soreang indikasi ini terlihat dengan mulai berdirinya minimarket-minimarket yang berlokasi di sepanjang jalan arteri sekunder (Jalan Terusan Kopo-Jalan Raya Soreang) yang menghubungkan Kawasan Perkotaan Soreang dengan Kota 
   Bandung yang sejalan dengan pertumbuhan kota yang berpola ribbon development. Selain tingginya intensitas pergerakan di kawasan pusat kota ini, terdapat juga pasar tradisional yang berfungsi sebagai pusat kegiatan koleksi, distribusi dan pemasaran produk-produk yang dihasilkan wilayah belakangnya.
    Persebaran toko kelontong teralokasi di Desa Cingcin, Soreang dan Pamekaran. Namun, untuk persebaran minimarket hanya terdapat di desa Pamekaran, Cingcin dan Sekarwangi. Jika melihat dari jumlah penduduknya, Desa Soreang memiliki jumlah penduduk yang besar dan pemusatan toko pengecer tradisional yang besar dibandingkan Desa Pamekaran, namun tidak terdapat minimarket di desa tersebut. Hal ini dikarenakan Desa Soreang dan Pamekaran sebelumnya adalah satu desa yang kemudian pada tahun 2000-an terjadi pemekaran sehingga Desa Pamekaran terbagi menjadi 2 Desa. Selain itu, Desa Pamekaran merupakan kawasan pusat kota dan pemerintahan Kawasan Perkotaan Soreang. Jika dilihat dari tahun-tahun berdirinya minimarket sejak tahun 2000-an, terjadinya pemekaran tersebut seiring dengan munculnya minimarket-minimarket di Kawasan Perkotaan Soreang. Penetapan fungsi Desa Pamekaran sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan menimbulkan bangkitan yang tinggi sebagai pangsa pasar minimarket. 
     Jika dilihat dari persebarannya, minimarket di kawasan pemerintahan lebih sedikit dibandingkan pada kawasan perdagangan. Minimarket yang berada di kawasan pemerintahan hanya terdapat di dalam kawasan perkantoran Pemerintahan dan berbentuk koperasi. Hal ini diduga minimarket tersebut diprioritaskan untuk melayani kebutuhan karyawan. Lalu banyaknya minimarket di kawasan perdagangan memiliki pangsa pasar yang lebih besar. Lokasinyapun berada di pinggir jalan utama sehingga pengunjung dapat berasal dari berbagai kalangan baik penduduk sekitar maupun orang yang melintas. 
    Selain Desa Pamekaran, minimarket juga berlokasi di Desa Cingcin dan Sekarwangi. Desa Cingcin merupakan kawasan permukiman baru dan menjadi pusat permukiman di Kawasan Perkotaan Soreang. Dari Tabel 1, kosentrasi penduduk terbesar di Kota Soreang berada di Desa Cingcin. Jika dilihat dari persebarannya, minimarket di Desa Cingcin berlokasi di daerah permukiman dan di pinggir jalan utama yang menuju ke Kota Bandung. Oleh karena itu, berdirinya minimarket di Desa Cingcin lebih dikarenakan alasan demografi, namun lokasi yang strategis dari desa inipun dimanfaatkan oleh minimarket yang berlokasi di pinggir jalan utama untuk menangkap pangsa pasar dari pengunjung yang lewat khususnya dari dan menuju Kota Bandung. Alasan inipun sama dengan minimarket yang berlokasi di Desa Sekarwangi. Jika dilihat dari jumlah penduduknya, pemilihan lokasi minimarket tidak didasarkan atas demografi penduduk. Jika dilihat dari persebarannya, alasan pemilihan lokasi lebih diprioritaskan untuk pengunjung yang lewat khususnya dari dan menuju Kota Bandung.


Perkembangan di Kawasan  Perkotaan  Lembang


     Lembang terletak 16 km di sebelah Utara Kota Bandung dan berpenduduk 78,417 jiwa dengan laju pertumbuhan 2.73% pertahun. Dilihat dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung Barat dimana kedudukan Kabupaten Bandung Barat dalam Lingkup Metropolitan Bandung sebagai wilayah yang mendukung pengembangan Kota Inti (Bandung-Cimahi) maka Lembang merupakan Kota Satelit I. Hal ini sejalan dengan RTRWN dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2003 yang menetapkan beberapa kota-kota prioritas, yaitu Bandung sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; Padalarang, Cimahi, Lembang, Banjaran, dan Majalaya, sebagai kota penyangga. Kota-kota tersebut dimaksudkan untuk dapat berperan sebagai kota-kota pusat pertumbuhan, pusat penyebaran pelayanan sektor-sektor ekonomi serta sekaligus sebagai counter magnet and buffer city atau penyangga untuk mengantisipasi perkembangan kota-kota besar di sekitarnya.
    Berdasarkan arah pengembangan tersebut dan kedekatan dengan Kota Bandung, kegiatan ekonomi di Lembang cukup berkembang. Salah satunya adalah perdagangan. Hal ini sesuai dengan data struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Lembang Tahun 2005 yang menempatkan sektor perdagangan, hotel dan restoran (25%) sebagai peringkat kedua setelah sektor industri pengolahan (28%). Salah satu kegiatan yang berkembang di kota ini adalah ritel modern yang diwakili oleh minimarket terwaralaba seperti Alfamart, Yomart, dan Indomaret. Diduga perkembangan ritel modern ini diakibatkan oleh pengaruh kota besar terdekat yang menyebarkan modernisasi ke kota-kota kecil di sekitarnya, termasuk Lembang. 
    Jika dilihat dari persebarannya, terdapat 3 minimarket yang berlokasi di jalan utama tersebut berada di pusat kota, bahkan ada yang posisinya beraglomerasi. Ketiga minimarket tersebut berlokasi di desa Jayagiri dan Lembang. Aglomerasi ini terjadi karena di dekatnya terdapat pasar turis sehingga dapat menangkap pangsa pasar dari wisatawan. Kemudian terdapat juga minimarket yang berlokasi di jalan lokal yang berlokasi di Desa Lembang dan Kayu Ambon. Hal ini dikarenakan lokasi minimarket berdekatan dengan pasar tradisional penduduk. Keberadaan minimarket tersebut memanfaatkan potensi pengunjung dari pasar serta permukiman setempat. 
    Jika dibandingkan dengan kebutuhan standar jumlah pengecer (minimarket dan toko kelontong) di Kota Lembang, jumlah pengecer di Kota Lembang mengalami kelebihan, sedangkan kekurangan dari standar kebutuhan yang paling tinggi terjadi di Desa Langensari. Hal ini diduga disebabkan karena kondisi geografis dari Desa Langensari yang berkontur padahal jumlah penduduknya merupakan yang tertinggi. Akses jalan pada kelurahan ini juga kurang baik dan tidak seluruh jalan utama dari kelurahan ini yang dilalui angkutan umum.


Kesimpulan

  Dalam beberapa tahun terakhir, industri ritel modern berkembang pesat di Indonesia. Pesatnya perkembangan tersebut diduga berpotensi menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan keberlangsungan ritel tradisional. Persoalan ini muncul ketika penempatan lokasi ritel modern yang berdekatan dengan ritel tradisional. Kedekatan ini menimbulkan beberapa dampak yang merugikan ritel tradisional seperti terambilnya pangsa pasar ritel tradisional oleh ritel modern dan menurunnya omset ritel tradisional. Pada dasarnya, persoalan ini telah diakomodasi oleh beberapa kebijakan terkait. Kebijakan yang telah disusun telah mencoba mengakomodasi berbagai kepentingan baik dari sisi ritel modern, pemasok, konsumen maupun tradisional. Namun, kebijakan tersebut memerlukan dukungan ketegasan pemerintah (kota/kabupaten) terkait dan peraturan teknis lain seperti aturan zonasi, jarak (angka) ritel modern terhadap tradisional, dan lainnya.